Labinak: Mereka Ada di Sini — Ketika Horor Bernama Manusia

0

 

INVENTIF – Di layar, gelap tak hanya datang dari malam, tapi juga dari hati manusia. Labinak: Mereka Ada di Sini, karya Azhar Kinoi Lubis, bukan sekadar parade darah dan jeritan—ia adalah elegi tentang manusia yang memakan manusia, baik dengan gigi maupun dengan kuasa.

Di balik kabut cerita, berdiri Najwa (Raihaanun), seorang ibu yang menggenggam harapan seerat nyawanya sendiri. Ia berjuang menutup pintu bagi sekte Bhairawa, yang percaya darah manusia dapat menjadi perjamuan menuju keabadian. Namun, pintu itu tak hanya dijebol oleh teror ritual kuno, melainkan juga oleh ketidakadilan sosial yang telah lama mengintai.

Azhar Kinoi, dengan mata seorang peramu horor atmosferik, merangkai ruang-ruang sempit dan cahaya yang memantul redup di sudut-sudut rumah, seakan dinding pun ikut menyaksikan kebiadaban. Tak ada hantu berkabut, tak ada makhluk bersayap malam—yang ada hanyalah manusia, dan itu cukup untuk membuat nadi berdegup tak menentu.

Raihaanun bermain seperti mata air yang menahan gemuruh. Tangannya bergetar, matanya menyimpan badai, suaranya setengah tercekik oleh ketakutan dan cinta yang sama besarnya. Arifin Putra dan Giulio Parengkuan menambah kabut mencekam, menghadirkan aura ancaman yang tak pernah benar-benar hilang, bahkan saat layar terasa sunyi.

Namun, Labinak tak puas menjadi sekadar tontonan seram. Ia menelanjangi kita—bahwa di luar layar, kanibalisme tak selalu berarti daging di meja makan. Ada “perjamuan” lain yang lebih senyap namun tak kalah kejam: kekuasaan yang mengunyah kaum lemah, sistem yang meminum darah mereka demi kenyamanan segelintir orang.

Ketika lampu bioskop kembali menyala, rasa takut itu belum pergi. Sebab kita tahu, di dunia ini, monster sering kali bertubuh manusia. Dan terkadang, mereka duduk di kursi yang jauh lebih nyaman daripada kursi penonton.(ISS)

Leave A Reply

Your email address will not be published.