Burhan Zein: Kajari Lingga Tidak Boleh Abaikan Hasil Audit BPK RI dalam Kasus Jembatan Marok Kecil

0

 

INVENTIF – Akademisi Hukum Tata Negara, Burhan Zein, menyoroti penanganan kasus dugaan korupsi pembangunan Jembatan Marok Kecil, Kabupaten Lingga, Riau, oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Lingga.

Ia menegaskan, penetapan tersangka dalam kasus tersebut seharusnya tidak boleh mengabaikan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).

Menurut Burhan, setiap dugaan kerugian negara dalam proyek yang dibiayai APBN maupun APBD harus terlebih dahulu merujuk pada hasil audit BPK RI. Hal ini telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (5) serta diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.

“Dalam praktiknya, kewenangan BPK RI sebagai lembaga audit negara seharusnya bersinergi dengan aparat penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan, maupun KPK. Penetapan adanya tindak pidana korupsi wajib didasarkan pada hasil audit BPK RI, bukan sekadar asumsi atau klaim sepihak,” ujar Burhan dalam rilisnya, Jumat (26/9).

Kasus Jembatan Marok Kecil

Proyek Jembatan Marok Kecil dimulai pada 2022 dan berlanjut pada 2023 hingga 2024. Berdasarkan informasi resmi, tahap I dan II (2022–2023) sudah diaudit BPK RI, bahkan kontraktor telah mengembalikan sejumlah dana sesuai temuan audit.

Sementara untuk tahap III pada 2024, BPK RI sudah melakukan pemeriksaan lapangan, namun masih dalam tahap pemeliharaan sehingga hasil audit final belum diterbitkan.

Meski demikian, Kejari Lingga pada pertengahan September 2025 telah menetapkan empat orang sebagai tersangka. Langkah cepat ini, menurut Burhan, berpotensi menimbulkan persoalan hukum.

“Tindakan penyidik terlalu terburu-buru. Semestinya koordinasi dengan BPK RI dilakukan terlebih dahulu, agar penetapan tersangka didasari hasil audit resmi. Tidak tepat jika justru menunggu hasil audit BPKP, karena BPK RI adalah lembaga audit utama sesuai konstitusi,” tegasnya.

Isu Dana Hibah dan Polemik Publik

Burhan juga menyinggung isu dana hibah Rp2,3 miliar dari Pemerintah Kabupaten Lingga kepada Kejari Lingga untuk pembangunan fasilitas kantor. Menurutnya, pemberian hibah kepada instansi vertikal hanya dapat dibenarkan jika menyangkut kepentingan mendesak, seperti keamanan dan ketertiban daerah.

“Kalau hibah itu dikaitkan dengan pembangunan gedung kejaksaan, saya kira jauh dari kepentingan langsung masyarakat. Wajar jika publik kemudian mengaitkan hibah tersebut dengan penanganan kasus lain, termasuk dugaan korupsi penanaman bonsai yang melibatkan istri Bupati Lingga,” katanya.

Burhan menambahkan, munculnya dugaan adanya perlakuan berbeda dalam proses hukum—seperti tidak tersentuhnya Wakil Bupati Lingga yang sebelumnya menjabat Kepala Dinas PUPR, sementara pejabat pembuat komitmen sudah ditetapkan tersangka—membuat masyarakat kian kritis.

“Dengan kondisi seperti ini, wajar jika publik meminta Jaksa Agung untuk mengevaluasi bahkan mencopot Kajari Lingga,” pungkasnya.

Kita tunggu klarifikasi Kajari Lingga dan Kejaksaan Agung dalam penanganan masalah yang jadi sorotan publik ini. (NMC)

Leave A Reply

Your email address will not be published.