Fadli Zon: Santri Adalah Pendekar Budaya Masa Depan
INVENTIF — Sinar proyektor berpadu dengan aroma kopi pesantren.
Nun, di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Selasa (21/10), layar lebar tak hanya memutar film, tapi juga gagasan: bahwa santri kini tak lagi sekadar pandai mengaji, tapi juga mampu menyutradarai peradaban.
Santri Film Festival 2025 (SANFFEST 2025) resmi dimulai. Acara hasil kolaborasi antara Kementerian Kebudayaan RI, Himpunan Seni Budaya Bangsa (HSBI), dan Lokomotif Layar Muda Bangsa (LLMB) ini dibuka langsung oleh Menteri Kebudayaan, Dr. Fadli Zon, M.Sc. Lebih dari 300 peserta hadir secara hybrid—dari santri, ulama, sineas, akademisi, hingga pejabat tinggi kementerian.
Fadli Zon dalam sambutannya menegaskan bahwa SANFFEST bukan sekadar festival film, tapi gerakan kebudayaan nasional.
“Insya Allah, karya para santri ini akan dibina hingga mampu bersaing di pasar global. Sebab masa depan peradaban dunia akan sangat ditentukan oleh kekuatan budaya,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa di balik 43.000 pesantren di Indonesia, tersimpan ide-ide profetik yang dapat menjadi bahan bakar kebangkitan budaya nasional. “Film adalah medium paling strategis untuk menyampaikan nilai-nilai luhur,” tambahnya dengan semangat yang seolah menantang sineas-sineas muda Hollywood.
Deretan tokoh budaya turut hadir memberi warna: Habiburrahman El Shirazy, KH. Jazir ASP, KH. Fahmi Salim, KH. Jeje Zainudin, KH. Zaitun Rasmin, Christine Hakim, Deddy Mizwar, Asma Nadia, Dedy Miing Gumelar, hingga para akademisi dari UI. Lengkap sudah: perpaduan antara kitab kuning, skenario, dan naskah akademik.
Ketua Komite SANFFEST 2025, Neno, menyebut festival ini telah disiapkan sejak Maret lalu. Dari 20 pesantren peserta kini melonjak jadi lebih dari 200, termasuk santri diaspora di Australia, Inggris, Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat.
“Para santri adalah pemegang pena sejarah. Mereka akan melukis masa depan peradaban lewat film-film mereka sendiri,” katanya, dengan nada yang lebih seperti manifesto budaya ketimbang sekadar sambutan.
Rangkaian SANFFEST berlangsung hingga Desember, dimulai dengan Ta’aruf Film, Workshop, hingga malam puncak Anugerah. Total hadiah Rp220 juta disiapkan untuk 11 kategori. Tak ada biaya pendaftaran—kecuali mungkin ongkos idealisme yang harus dibayar dengan kerja keras dan kopi dingin di malam editing.
Kementerian juga menjanjikan inklusivitas: semua kegiatan akan disertai Juru Bahasa Isyarat. “Film adalah ruang bersama,” ujar Budi Sumarno dari HSBI, yang tengah menyiapkan buku panduan perfilman inklusif untuk diluncurkan pada Hari Disabilitas Internasional.
Dengan segala gegap-gempitanya, SANFFEST 2025 seolah menjadi penanda bahwa pesantren kini bukan hanya pusat tafsir kitab, tapi juga tafsir budaya. Dari bilik santri, lahir para sutradara masa depan—yang mungkin suatu hari nanti akan menulis skenario tentang dunia yang lebih adil, santun, dan tentu saja: penuh pesan moral di bagian akhir filmnya. (NMC)