AMKI Jakarta dan Ikrar Konvergenci Mediadi Era yang Berlari Cepat
INVENTIF — Di tengah denyut Jakarta yang tak pernah tidur, di bawah lampu-lampu Tebet yang menyala seperti gugus bintang di antara gedung-gedung tinggi, satu babak baru dalam perjalanan pers nasional mulai ditulis.
Pengurus Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat resmi menunjuk Heryanto sebagai Ketua AMKI Provinsi DKI Jakarta untuk masa bakti 2025–2030.
Penunjukan itu bukan sekadar formalitas administratif—ia adalah amanah tentang masa depan media di negeri yang semakin digital, semakin cepat, dan kadang semakin kehilangan jeda untuk berpikir jernih.
“Ini tanggung jawab yang tidak ringan,” ujar Heryanto dengan nada tenang, seolah tahu bahwa yang dihadapinya bukan hanya struktur organisasi, tapi juga arus besar perubahan zaman.
Menyatukan Arus Media di Tengah Badai Informasi
AMKI berdiri dengan satu cita-cita luhur: membangun wadah bagi pemilik dan penggerak media konvergensi—mereka yang hidup di persimpangan dunia cetak, elektronik, dan digital.
Bagi Heryanto, tugas ini adalah menjahit kembali jaring komunikasi yang kadang tercerai-berai: antara media besar yang mapan dan media kecil yang berjuang untuk eksis di tengah keterbatasan.
“Mengajak media arus atas untuk berhimpun itu bukan perkara mudah,” ujarnya jujur. Namun di matanya, ada keyakinan yang sederhana tapi kuat: bahwa kekuatan sejati pers bukan terletak pada siapa yang lebih besar, tetapi siapa yang mau tumbuh bersama.
Cita-Cita Sebuah Rumah Bersama
AMKI bukan organisasi wartawan, melainkan rumah bagi media massa dalam segala bentuknya. Ia tak hanya menampung koran dan tabloid, tetapi juga media daring, kanal YouTube, TikToker, dan pelaku media sosial yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut informasi publik.
“Selama ini ada SPS (Serikat Penerbit Suratkabar), tapi AMKI lebih luas,” jelas Heryanto di sela percakapan di gedung Plaza KAHA, Tebet. “Karena zaman sudah berubah, dan ruang publik tak lagi dibatasi oleh tinta dan kertas.”
Cita-cita AMKI sederhana, tapi mendalam: membesarkan media agar wartawannya juga besar—setidaknya sejahtera dan berdaya. Sebab, kesejahteraan insan media bukan hanya urusan gaji, tapi juga tentang martabat dan keberlangsungan profesi di tengah tekanan algoritma dan pasar.
Antara Amanah dan Inovasi
Dalam pandangan Heryanto, AMKI bukan sekadar payung formalitas. Ia adalah ruang gotong royong—tempat media saling menopang ketika server tumbang, domain bermasalah, atau ketika semangat redaksi mulai meredup di tengah keterbatasan iklan.
“Di AMKI, kita ingin menciptakan newsroom bersama,” ujarnya. “Media anggota bisa berbagi berita, berbagi peluang, bahkan berbagi solusi. Seperti komunitas Vespa atau klub Avanza—tapi ini komunitas media.”
Pepatah lama pun ia kutip dengan senyum kecil: “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.” Di matanya, pepatah itu bukan klise, tapi prinsip dasar survival di dunia media modern.
Langkah Awal, Langkah Panjang
Agenda pertama AMKI DKI Jakarta adalah menggelar pelantikan resmi yang rencananya akan dihadiri Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Ketua DPRD DKI Jakarta. Namun sebelum seremoni, Heryanto lebih dulu akan menempuh jalur silaturahmi—melakukan audiensi ke berbagai pihak, memperkenalkan wajah AMKI dan maknanya bagi ekosistem media Ibukota.
“Ini bukan sekadar organisasi,” ujarnya lirih, “tetapi gerakan kesadaran bahwa media hari ini hidup dalam satu ekosistem yang sama—ekosistem konvergensi.”
Dan memang, begitulah kenyataannya.
Zaman telah berubah: koran yang dulu dibaca dengan tangan kini disentuh dengan jempol di layar ponsel; suara radio kini bergema di podcast; dan televisi, yang dulu menuntut ruang keluarga, kini berpindah ke genggaman kecil di mana pun kita berdiri.
Di era ketika informasi berlari lebih cepat dari refleksi, AMKI mencoba menghadirkan keseimbangan—sebuah jembatan antara teknologi dan tanggung jawab, antara bisnis dan nurani.
Heryanto menatap masa depan media Jakarta dengan pandangan realistis: bahwa pers harus tetap tegak, tapi juga lentur.
Bahwa kekuatan media tak hanya diukur dari jumlah pembaca atau klik, melainkan dari niat menjaga kebenaran di tengah bisingnya dunia maya.
Di penghujung malam itu, di ruang kecil kantor AMKI yang masih menyala, ia menulis satu kalimat di buku catatannya:
“Media boleh berubah wujud, tapi jiwanya harus tetap sama—mencerahkan, bukan membingungkan.”
Kalimat itu barangkali sederhana, namun di sanalah ruh dari konvergensi sejati: pertemuan antara pikiran, teknologi, dan hati nurani. (NMC)