Asrama Ambruk Lagi, Doa, Duka, dan Janji yang Tak Pernah Selesai
INVENTIF — Sebuah asrama santriwati di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdul Qodir Jailani, Situbondo, ambruk.
Musibah ini kembali mengajarkan kita arti “ujian kesabaran”. Bukan lewat kitab kuning, melainkan melalui reruntuhan dinding dan balok kayu yang tak kuat lagi menyangga usia.
Bangunan sederhana itu ambruk dini hari, sekitar pukul 00.30 WIB. Dalam gelap dan gerimis, jerit para santriwati bersahut dengan doa—doa yang mungkin hanya kalah cepat dari bunyi genting yang jatuh. Satu santriwati, Putri (12), berpulang. Dua belas lainnya luka-luka. Sebagian dilarikan ke rumah sakit, sebagian lain masih gemetar, menatap kasur yang kini tertimbun debu.
“Semoga almarhumah syahidah, wafat dalam perjuangan menuntut ilmu,” ujar Wakil Ketua Umum PBNU, KH. Dr. (HC) Zulfa Mustofa, dengan suara tenang—seperti kalimat duka yang sudah terlalu sering diucapkan, tapi jarang benar-benar dipelajari.
Kiai Zulfa mengaku prihatin. Sebulan sebelumnya, musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, juga ambruk. Katanya, “Kami berharap pemerintah membantu pesantren tua yang bangunannya berpotensi membahayakan.”
Harapan itu indah, seperti setiap kali diucapkan setelah genting jatuh dan korban dishalatkan. Tapi di negeri ini, harapan sering kalah cepat dari retakan tembok tua yang dibiarkan menunggu ajal.
Duka yang Berulang, Bantuan yang Tak Pernah Terencana
Wakil Ketua Umum PBNU itu juga menyebut, pihaknya telah memerintahkan RMI (Rabithah Ma’ahid Al Islamiyah) untuk melakukan pendataan dan monitoring pondok pesantren di seluruh Indonesia. Sebuah langkah mulia, meski publik tahu: pendataan selalu jadi bab pertama dari setiap musibah—dan bab terakhir dari setiap lupa.
“Pemerintah sebaiknya membantu memperbaiki bangunan-bangunan pesantren tua agar santri-santri bisa belajar dengan aman,” ujar Kiai Zulfa. Kalimat yang benar, hanya saja sudah diulang sejak rezim demi rezim, hingga terdengar seperti doa tahajud yang tak pernah sampai subuh.
Di Indonesia, ada lebih dari 26.000 pondok pesantren berafiliasi dengan NU. Sebagian besar hidup dari swadaya masyarakat. Beberapa punya aula megah, tapi banyak pula yang berdiri dari papan, bambu, dan keyakinan bahwa “Allah pasti menjaga”. Barangkali benar, tapi genting rapuh dan beton keropos punya logika sendiri.
Kesaksian dari Reruntuhan
Aura Adelia (14), salah satu korban selamat, menceritakan detik-detik saat bangunan runtuh.
“Saya lagi tidur. Tiba-tiba ambruk. Saya keluar kamar, hujan gerimis,” katanya lirih di RSUD Besuki. Dalam satu kamar, ada 19 santriwati. Semuanya tertidur, tanpa firasat bahwa langit-langit di atas kepala mereka tengah menua dan menunggu waktu untuk menyerah.
Aura baru sadar kakinya luka parah setelah berhasil keluar. “Saya minta tolong, terus digendong ke rumah sakit,” ucapnya.
Di luar ruang rawat, keluarga korban menunggu dengan wajah yang lebih pucat dari plester dinding rumah sakit. RS (35), kerabat salah satu korban, mengaku tidak diberi kabar bahwa saudaranya jadi korban ambruk. “Kami kira cuma dipanggil ke pondok. Ternyata… sudah di rumah sakit,” katanya pelan.
Sementara Itu, di Jakarta…
Di ibu kota, rapat-rapat akan segera digelar. Mikrofon disetel, doa dibacakan, lalu kalimat “ini akan kami evaluasi” akan kembali diucapkan.
Sementara di Situbondo, reruntuhan asrama mulai dibersihkan, dan para santri—dengan sandal jepit dan semangat yang tak pernah padam—akan kembali belajar di bawah tenda darurat.
Karena di negeri ini, bangunan boleh runtuh, tapi ritual mengikhlaskan selalu kokoh berdiri.
Kita berduka untuk Putri (12) dan seluruh santriwati korban musibah ini. Namun, bila setiap tragedi hanya disambut dengan “doa” tanpa “perbaikan nyata”, maka bukan tembok pesantren yang rapuh — melainkan ingatan kita. (NMC)