Atap Ambruk, Duka Turun, Bantuan Datang untuk Menambal Luka dan Langit-langit
INVENTUF — Kementerian Agama kembali berduka. Bukan karena polemik, tapi karena atap salah satu ruang asrama putri di Pondok Pesantren Syekh Abdul Qodir Jailani, Situbondo, ambruk dini hari.
Memilukan, satu santriwati wafat, sebelas luka-luka, dan satu kali lagi, negeri ini belajar bahwa iman yang kuat tak selalu cukup menahan genting yang rapuh.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, menyampaikan belasungkawa mendalam dan memastikan bahwa negara tidak tinggal diam. “Insya Allah, Kemenag akan beri bantuan Rp200 juta, yang akan diantar langsung oleh Direktur Pesantren pada Kamis besok,” ujarnya dengan nada yang berusaha menenangkan, meski terdengar seperti kalimat standar dari naskah yang sudah sering dipakai.
Ujian Iklim dan Ujian Sistem
Menurut laporan Kemenag, kejadian terjadi pada Kamis dini hari pukul 00.30 WIB. Cuaca hujan deras disertai angin kencang disebut sebagai penyebab utama. Sebuah alasan yang, entah bagaimana, selalu berhasil menjadi tersangka pertama di setiap musibah infrastruktur pendidikan.
Ruang asrama berukuran 48 meter persegi itu menampung 19 santriwati. Saat atapnya runtuh, pengurus pondok langsung mengevakuasi korban ke rumah sakit terdekat. Dari 19 santriwati, 11 mengalami luka-luka, enam di antaranya dirawat di Puskesmas Besuki, empat di RSUD Besuki, dan satu di RSIA Jatimed.
Yang paling memilukan, Putri Helmikia Okta Viantika (12) meninggal dunia pada pukul 05.37 WIB, dan telah dimakamkan pukul 08.00 pagi.
“Semoga almarhumah mendapat tempat terbaik di sisi Allah Swt,” ucap Suyitno.
Ucapan yang benar, tulus, dan… sangat akrab di telinga bangsa yang sering berduka karena bangunan tak kuat berdiri.
Bantuan Cepat, Tapi Kenapa Selalu Setelah Rubuh?
Kemenag menjanjikan bantuan Rp200 juta untuk renovasi. Jumlah yang, kalau diubah jadi beton, mungkin bisa memperkokoh dua ruang kelas—atau setidaknya memperindah seremoni penyerahannya.
Dirjen juga berharap “peristiwa semacam ini tidak terjadi lagi”, sembari menyebut bahwa pihaknya tengah melakukan pendataan agar bisa dilakukan “proses afirmasi”.
Sebuah kalimat yang diucapkan setiap kali puing-puing baru muncul, seperti doa pengantar tidur bagi bangunan-bangunan yang menua di bawah anggaran yang tipis.
Ironi yang Tak Pernah Usai
Musibah ini menambah daftar panjang tragedi di dunia pesantren. Sebelumnya, musala ambruk di Sidoarjo, lalu kini asrama di Situbondo.
Setiap kali, pola yang sama terulang: atap roboh, korban berjatuhan, pejabat menyampaikan duka cita, bantuan diumumkan, evaluasi dijanjikan — dan setelah itu, kita kembali pada rutinitas semula, seolah reruntuhan hanyalah jeda sebelum rapat berikutnya.
Antara Syukur dan Lupa
“Alhamdulillah, bantuan segera turun,” kata sebagian pihak. Namun, di sisi lain, sebagian mungkin bertanya pelan: “Kenapa bantuan selalu datang setelah genting jatuh, bukan sebelum paku longgar?”
Tapi mungkin itu memang cara kita belajar — dari reruntuhan, dari kehilangan, dari liputan yang penuh doa tapi miskin rencana jangka panjang.
Sementara itu, para santri kembali belajar mengaji di tenda darurat.
Langit terbuka di atas mereka, bukan lagi karena atap roboh, tapi karena keyakinan bahwa di bawah langit yang sama, mereka tetap bisa menuntut ilmu—meski kadang negara baru terbangun setelah dindingnya retak.
Rp200 juta bukan jumlah kecil untuk menambal luka. Tapi jika setiap tragedi dibayar dengan uang dan bukan sistem yang diperbaiki, maka yang sebenarnya ambruk bukan hanya bangunan — melainkan ingatan kita terhadap janji perbaikan yang selalu diucapkan, tapi tak pernah selesai dibangun. (NMC)