Festival Film Wartawan 2025 Umumkan Nominasi, Antara Apresiasi dan Eksorsisme Industri Perfilman Nasional
INVENTIF — Dunia perfilman Indonesia kembali diguncang — bukan oleh jump scare film horor, tapi oleh daftar nominasi Festival Film Wartawan (FFW) 2025.
Konon ini adalah ajang yang menjadi ruang refleksi, tapi lebih sering jadi ruang perdebatan: antara mereka yang membuat film, mereka yang menonton, dan mereka yang masih bingung mengapa film bagus sering tidak laku, sementara yang absurd justru viral.
Tahun ini, FFW — hasil kolaborasi antara wartawan film, Kementerian Kebudayaan, dan idealisme yang belum sepenuhnya punah — mengumumkan nominasi di tiga genre: Horor, Komedi, dan Drama. Tiga dunia berbeda, tapi sama-sama berusaha menaklukkan realitas dengan cara masing-masing: menakuti, menertawakan, atau membuat menangis tanpa tahu sebabnya.
Yang menarik, pengumuman ini tidak dilakukan di hotel berbintang atau bioskop megah, melainkan di rumah almarhum Wina Armada Sukardi di kawasan Bintaro — sang pendiri FFW, wartawan yang percaya bahwa apresiasi film tak perlu dipoles glamor, cukup dengan niat jujur dan kopi hitam. Sebuah simbol yang dalam: ketika industri sibuk mengejar sponsor, wartawan justru memilih kembali ke rumah, ke akar kesederhanaan.
Warisan Wina Armada: Dari Pena ke Piala
Dalam acara tersebut, hadir Amalia Trisnawati, istri mendiang Wina Armada Sukardi, yang dengan mata berkaca-kaca menyampaikan terima kasih kepada panitia. Ia mungkin sadar: di negeri di mana idealisme sering kalah oleh algoritma, masih ada yang mau menjaga warisan berpikir jernih — meski hanya lewat festival kecil tapi bermartabat.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Ahmad Mahendra, juga turut memberi sambutan. Dengan bahasa diplomatis khas pejabat, ia menegaskan pentingnya keberlanjutan festival ini sebagai “wadah refleksi”. Tentu, di tengah realitas di mana refleksi sering kalah cepat dari reels Instagram, kalimat itu terdengar seperti doa yang disampaikan dari jendela bioskop tua.
Ketua FFW 2025, Benny Benke, menegaskan bahwa festival ini adalah “bentuk penghormatan terhadap semangat independen wartawan.” Pernyataan yang patut diapresiasi — sebab di era di mana sebagian media lebih sibuk menulis press release ketimbang kritik, FFW tetap percaya bahwa wartawan punya mata sendiri untuk menilai karya, bukan sekadar membaca rating di box office.
Horor, Komedi, Drama: Satu Negeri, Banyak Genre
Dari daftar panjang nominasi, publik bisa melihat cermin yang cukup jujur tentang wajah perfilman Indonesia tahun ini.
- Genre Horor: seperti biasa, mendominasi layar dan ruang bawah sadar penonton. Ada judul-judul seperti Sukma, Maryam: Janji dan Jiwa yang Terikat, hingga Racun Sangga: Santet Pemisah Rumah Tangga. Menakutkan bukan hanya karena isinya, tapi karena betapa cepatnya “film santet” bisa berubah jadi waralaba industri.
- Genre Komedi: menjadi pelarian bagi mereka yang sudah bosan diserang hantu. Namun jangan salah, menertawakan hidup di Indonesia kadang lebih menyeramkan daripada film horor itu sendiri. Judul seperti Cocote Tonggo dan Modal Nekad mungkin terasa lucu, tapi juga jujur — sebab siapa pun tahu, di negeri ini, banyak yang memang hidupnya “modal nekad”.
- Genre Drama: menjadi ruang bagi sineas yang masih percaya pada keajaiban air mata. Dari Panggil Aku Ayah hingga Sore: Istri dari Masa Depan, semuanya mencoba membuktikan bahwa perasaan manusia belum sepenuhnya tergantikan oleh efek CGI.
Ketika Wartawan Jadi Juri: Kritik yang Tak Bisa Disensor
Direktur Film, Musik, dan Seni, Syaifullah Agam, menyebut bahwa FFW adalah bentuk nyata kontribusi jurnalis bagi ekosistem film nasional. Sebuah pernyataan yang mungkin terdengar utopis, tapi perlu diingat — dalam sejarah Indonesia, wartawan sering kali menjadi penulis naskah paling berani, bukan di layar lebar, tapi di ruang opini yang tak bisa disensor.
FFW, dengan segala keterbatasannya, mencoba menjaga tradisi itu: menilai film bukan karena bintang yang bermain, tapi karena cahaya yang terpancar dari ceritanya. Sebuah idealisme yang kini mulai langka, terutama di tengah festival yang lebih sibuk menghitung jumlah endorsement daripada jumlah penonton yang berpikir.
Antara Piala dan Makna
Daftar nominasi FFW 2025 adalah pengingat bahwa film masih punya tempat di hati mereka yang menonton dengan kepala dan hati, bukan sekadar dengan popcorn dan postingan. Tapi juga tamparan halus bagi industri: bahwa apresiasi sejati tak butuh karpet merah, cukup ruang kecil yang jujur — dan penonton yang mau berpikir setelah lampu padam.
Malam puncak FFW 2025 akan digelar November mendatang. Bukan sekadar mencari siapa yang menang, tapi siapa yang masih peduli. Karena di negeri di mana drama politik dan komedi kebijakan publik tayang setiap hari tanpa sensor, Festival Film Wartawan tetap menjadi satu-satunya ruang di mana kritik masih diberi tempat — dan piala masih punya makna. (NMC)