Kemenag Kejar Kesejahteraan Guru, Terwujudkah?
INVENTIF — Kementerian Agama kembali menegaskan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi guru agama. Terwujudkah?
Pernyataan itu disampaikan dengan penuh keyakinan dalam sebuah Dialog Media yang digelar sore hari di Jakarta—karena kesejahteraan guru, seperti biasa, paling sering dibahas di ruangan ber-AC, bukan di ruang kelas.
Kepala Biro Humas dan Komunikasi Publik, Thobib Al Asyhar, menjelaskan bahwa dialog ini merupakan bagian dari strategi komunikasi publik untuk memperkuat transparansi dan literasi kebijakan.
“Kami ingin masyarakat tahu bahwa Kemenag memperlakukan semua guru secara setara,” ujarnya, yang langsung disambut anggukan serius dari peserta. Tidak dijelaskan apakah kesetaraan itu juga berarti kesamaan dalam keterlambatan tunjangan.
Dalam forum tersebut, disebutkan adanya kenaikan Tunjangan Profesi Guru (TPG) Non-ASN dari Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta per bulan. Angka yang di atas kertas, terdengar sejahtera — terutama bila kertasnya dicetak di PowerPoint dan bukan di slip gaji.
Staf Khusus Menteri Agama, Ismail Chawidu, mengatakan bahwa tingkat kepuasan guru meningkat signifikan setelah kebijakan itu diterapkan. “Guru yang sejahtera akan melahirkan pendidikan yang berkualitas,” ujarnya penuh semangat.
Para wartawan mencatat dengan serius, meski beberapa mungkin berpikir: mungkin yang meningkat bukan kesejahteraan, tapi kemampuan guru bersyukur di tengah inflasi.
Kemenag juga menegaskan pentingnya penghargaan, kesempatan berkembang, dan kolaborasi media dalam menyebarkan narasi positif. “Berita yang baik adalah yang memberi penjelasan nyata dan menawarkan solusi,” kata Ismail.
Pernyataan itu tepat—dan memang, berita ini juga sedang berusaha melakukannya: menjelaskan secara nyata bahwa narasi kesejahteraan kadang lebih cepat berkembang dibanding kesejahteraan itu sendiri.
Sementara di luar gedung, sebagian guru agama masih harus meminjam motor untuk berangkat mengajar, membawa map lusuh berisi RPP, dan menulis nilai murid di papan tulis yang separuhnya sudah mengelupas.
Tapi tentu saja, semangat mereka tetap tinggi—karena, seperti kata spanduk Kemenag di setiap rapat koordinasi, “Guru Adalah Lentera Bangsa”. Hanya saja, beberapa lentera tampaknya masih menunggu minyak subsidi.
Dialog ini dihadiri oleh para pejabat tinggi Kemenag dari berbagai direktorat: Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, hingga Khonghucu. Sebuah pemandangan indah tentang kerukunan antaragama — setidaknya di meja diskusi.
Mereka memaparkan data, capaian, dan program afirmasi yang berkelanjutan. Sayangnya, tidak ada sesi tanya jawab dari guru di pelosok yang masih menunggu tunjangan tiga bulan belum cair.
“Pendidikan agama harus inklusif dan berkeadilan,” tutup Thobib. Kalimat yang terdengar gagah, seperti biasa. Dan semoga, kali ini, keadilan itu tidak berhenti di lembar berita resmi kementerian.
Kemenag berbicara tentang kesejahteraan guru dengan penuh keyakinan. Tapi mungkin, agar benar-benar terasa sejahtera, para guru tidak hanya butuh dialog dan konferensi pers — melainkan jadwal pasti pencairan, ruang kelas yang tak bocor, dan murid-murid yang tak harus patungan untuk kapur.
Karena di negeri ini, kesejahteraan sering dimulai dengan kata “komitmen”, tapi jarang sampai pada kata “terwujud”. (NMC)