Ketika Imam Besar Mengenang Paus di Kota Para Santo, Sebuah Doa Persaudaraan di Vatikan

0

 

Vatikan, Roma — Di antara pilar marmer dan gema doa yang melingkar di udara Vatikan, seorang tamu dari timur berdiri di mimbar perdamaian dunia.

Ya, Menteri Agama Nasaruddin Umar — Imam Besar Masjid Istiqlal yang lebih akrab dengan lantunan dzikir daripada lonceng gereja — bicara tentang persaudaraan manusia di hadapan para kardinal, suster, dan pemimpin lintas iman dari lebih lima puluh negara.

Namun hari itu, kata-kata tak lagi sekadar pidato. Ia berubah menjadi kenangan — kenangan tentang seorang sahabat yang tak lagi di dunia: Paus Fransiskus.

“Ketika saya mendengar kabar duka itu, saya merasa tak percaya,” ujar Menag dengan suara yang nyaris pecah. “Semua kenangan tentang Paus Fransiskus muncul di benak saya. Saya merasakan tarikan keras di hati saya.”

Seketika layar besar di forum Daring Peace menampilkan dua potret yang kini menjadi relik spiritual: satu saat Imam Besar mencium kening Paus Fransiskus, dan satu lagi ketika Paus membalas dengan mencium tangan sang Imam. Dua isyarat tubuh yang membungkam segala debat teologis—karena di titik itu, kasih adalah bahasa satu-satunya yang dimengerti manusia.

Para hadirin terdiam. Seorang kardinal menundukkan kepala, seorang biarawati menyeka air mata. Menag sendiri sempat meminta maaf, “Maaf, saya sangat emosional.” Namun justru di sanalah letak kekuatan pidatonya — di sisi manusiawinya.

Forum perdamaian ini diselenggarakan oleh Komunitas Sant’Egidio, dengan Grand Syekh Al Azhar, Prof. Ahmed Al Tayeb, sebagai pembicara utama, dan Presiden Sant’Egidio, Marco Impagliazzo, sebagai penggagas. Namun, di tengah semua gelar dan kehormatan itu, yang paling berharga justru adalah momen hening ketika seorang muslim mengenang seorang paus — dua iman yang berbeda, namun berdetak dari sumber kasih yang sama.

Menag kemudian mengingat percakapannya dengan Paus beberapa waktu lalu. “Beliau merujuk pada Fratelli Tutti dan mengatakan bahwa kita semua dipanggil menjadi saudara, melampaui agama, ras, dan bangsa,” tuturnya. “Saya pun menjawab dengan pandangan Islam bahwa kemanusiaan berada di atas segalanya.”

Dua kitab suci, dua lidah, namun satu kalimat yang lahir dari nurani: bahwa manusia, sebelum apa pun, adalah saudara.

Momen itu seakan mengulang satu tahun lalu, ketika Paus Fransiskus datang ke Indonesia pada September 2024. Kunjungan itu adalah ziarah kasih, bukan sekadar diplomasi lintas iman. Jakarta waktu itu menjadi panggung harmoni: lonceng gereja berdentang bersahut dengan adzan Magrib, dan udara Istiqlal mengandung doa lintas langit.

Dalam kunjungan itu, Paus dan Menag menandatangani Deklarasi Istiqlal — sebuah pernyataan sederhana namun penuh makna: bahwa Indonesia akan terus menjadi rumah bagi perbedaan yang damai.

Paus kemudian menulis pesan yang kini terasa seperti nubuat, “Semoga rakyat Indonesia terus bertumbuh dalam iman, persaudaraan, dan kasih sayang. Semoga Tuhan memberkati Indonesia.”

Kini, doa itu menggema di Vatikan, diucapkan kembali oleh sahabat yang ditinggalkan.

“Bagi saya, Paus Fransiskus adalah teladan tentang kesederhanaan,” ucap Menag menutup pidatonya. “Beliau tidak hanya berbicara tentang kasih, tapi menghidupinya.”

Kalimat itu disambut tepuk tangan panjang. Bukan karena retorika, tapi karena ketulusan. Di tengah dunia yang sibuk mempersenjatai diri dengan doktrin dan kecurigaan, seorang Imam dan seorang Paus telah membuktikan bahwa keimanan yang sejati tak butuh menara tinggi — cukup hati yang lapang.

Vatikan sore itu menyimpan satu ironi yang manis: bahwa persaudaraan sejati terkadang baru terasa dalam perpisahan.

Dan entah dari mana, di antara suara tepuk tangan dan gemerincing salib, mungkin ada angin lembut yang membawa pesan terakhir dari Paus Fransiskus — bahwa kasih, ternyata, masih punya tempat di dunia ini.(NMC)

Leave A Reply

Your email address will not be published.