Kuota Haji, Antara Hak dan Angka yang Membeku
INVENTIF — Di atas kertas, angka memang tampak adil. Seribu dibagi seribu, satu per mil dari populasi muslim di negeri mana pun.
Tapi di balik angka, selalu ada wajah-wajah yang menua dalam penantian, doa-doa yang mengering di sajadah, dan nama-nama yang belum sempat dipanggil oleh waktu.
Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Agama yang dikenal dengan sikap jernih dan pemikirannya yang teduh, menulis sebuah renungan yang menggugah. Ia mempertanyakan fondasi keadilan dalam pembagian kuota haji—apakah semestinya dihitung dari jumlah jemaah yang sudah mendaftar, atau dari total umat muslim yang memiliki hak spiritual yang sama?
“Hemat saya,” tulisnya, “basis perhitungan kuota haji adalah jumlah penduduk muslim, tepatnya satu per seribu dari total populasi muslim di suatu negara.”
Sebuah logika yang sederhana namun menembus akar: bahwa hak untuk berhaji bukan hanya milik mereka yang sempat mendaftar, tetapi juga milik setiap muslim yang memelihara niat dalam diam.
Dalam pandangan Lukman, ketika kuota nasional didistribusikan ke provinsi-provinsi, maka keadilan sejati menuntut agar jumlah penduduk muslim menjadi variabel utama. Ia menolak perhitungan semata berdasar daftar tunggu, sebab itu akan menutup hak daerah yang memiliki populasi muslim besar namun pendaftar sedikit—barangkali karena kemiskinan, barangkali karena pasrah pada panjangnya antrean yang nyaris seumur hidup.
“Tidak boleh,” tulisnya tegas, “perhitungannya hanya berdasarkan variabel pendaftar haji saja. Sebab hak berhaji itu tidak hanya bagi yang telah mendaftar, tapi juga bagi semua penduduk muslim di wilayah tersebut.”
Keadilan, dalam tafsir Lukman, bukan soal menyamakan masa tunggu, tetapi soal memberi setiap wilayah peluang yang proporsional terhadap kenyataan demografisnya. Ia menutup pandangannya dengan seruan yang lirih tapi dalam: agar pengambil keputusan berhati-hati dalam menimbang keadilan.
Di tengah rutinitas birokrasi dan politik kuota yang dingin, suara seperti ini mengingatkan kita bahwa berhaji bukan sekadar hitungan angka—ia adalah perjalanan spiritual yang dimulai jauh sebelum kaki menginjak Tanah Suci. Ia bermula dari keinginan suci, dari doa di ujung malam, dari keyakinan bahwa setiap umat berhak menatap Ka’bah, meski hanya dalam mimpi.
Barangkali, di situlah keadilan sejati bermukim—bukan di meja rapat, tapi di hati yang masih percaya bahwa hak beribadah tak bisa dikurung oleh sistem antrean.(NMC)