Menag ke Vatikan, Dari Istiqlal ke Koloseum, Membawa Damai dan Kebaya

0

 

INVENTIF— Seolah sedang mengulang bab terakhir dari buku lintas iman yang belum selesai ditulis dunia, Menteri Agama Nasaruddin Umar bertolak ke Vatikan.

Misi ini bukan untuk misa, tapi untuk berdiskusi soal perdamaian — sebuah kata yang di negeri sendiri kadang kalah ramai dari “pilkada.”

Berangkat dari Jakarta pada 25 Oktober 2025, Menag mendarat di Roma dengan misi yang seolah sederhana tapi sebenarnya luar biasa berat: menjaga suara nurani di tengah gema sejarah Koloseum — tempat di mana ribuan gladiator dulu beradu untuk tepuk tangan, bukan kedamaian.

Setibanya di sana, Menag disambut hangat oleh Duta Besar RI untuk Takhta Suci, Michael Trias Kuncahyono, bersama para diplomat dari berbagai negara: Jepang, Lituania, Liga Arab, Haiti, hingga Peru. Di antara jas dan kalung salib, hadir pula para imam dan biarawati Indonesia, yang barangkali merasa sedikit nostalgia setiap kali mendengar kata “Istiqlal.”

Namun, bukan hanya pidato yang menjadi sajian utama malam itu. Acara dibuka dengan tarian Kebaya Menari, dibawakan oleh diaspora Indonesia di Roma — sebuah pesan lembut bahwa perdamaian bisa datang lewat gerakan yang anggun, bukan langkah yang keras.

“Kunjungan saya ke Roma dan Vatikan adalah untuk berbicara tentang ‘Mengenang Paus Fransiskus’ dalam Pertemuan Internasional untuk Perdamaian yang diselenggarakan Komunitas Sant’ Egidio di Koloseum,” ujar Menag.

Nada suaranya tenang, tapi pesan yang dibawanya menggema jauh melampaui tembok Roma: bahwa Istiqlal dan Vatikan pernah bersua, bukan dalam debat teologi, melainkan dalam pelukan kemanusiaan.

Paus Fransiskus, yang pada September 2024 sempat mengunjungi Masjid Istiqlal, telah meninggalkan warisan bukan berupa kitab baru, tapi semangat lama yang dihidupkan kembali: bahwa manusia tak perlu satu agama untuk bisa berbuat baik.

“Saat itu kami menandatangani Deklarasi Istiqlal—mengadvokasi kemanusiaan, dialog, dan perlindungan lingkungan,” kenang Menag. “Semangat itu tetap hidup, karena kemanusiaan hanya punya satu warna.”

Di dunia yang kini sering membedakan warna kulit dan warna partai, kalimat itu terdengar seperti doa yang menolak punah.
Indonesia, katanya, punya warisan yang lebih tua dari perdebatan zaman: Bhinneka Tunggal Ika.

Dan mungkin, di bawah lengkung langit Roma malam itu, di mana lampu-lampu kota berkilau di antara sejarah dan harapan, seorang Menteri dari negeri tropis sedang berusaha menjahit ulang benang-benang damai — dari Istiqlal ke Vatikan, dari doa ke kebaya, dari perbedaan menuju persaudaraan.

Kalau dunia bisa berdamai di Koloseum, semoga para netizen juga bisa berdamai di kolom komentar. Karena di era sekarang, adu kata jauh lebih ganas daripada gladiator zaman dulu. (NMC)

Leave A Reply

Your email address will not be published.