“Ziarah Dangdut di Tengah Sorot Lampu”
INVENTIF —
Langit Jakarta gelap-gelap terang dari semprotan mercury. Lalu sorot lampu Tenis Indoor GBK mulai berpendar, memantul di wajah-wajah yang tak hanya datang untuk menonton, melainkan untuk mengenang dan tentu saja berdendang.
Di antara kursi tribun dan area festival yang padat, ratusan penggemar A. Rafiq berdiri dalam keharuan—mereka bukan sekadar penonton konser, mereka adalah penjaga ingatan.
Malam itu, Selasa (28/10), bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, tetapi semangat yang berkobar di ruangan itu bukan seruan politik atau janji kebangsaan, melainkan desah rindu yang menolak padam. Konser bertajuk “Tribute to A. Rafiq” menjadi semacam ziarah musik—ziarah untuk legenda yang telah lama pergi, tetapi suaranya masih menggetarkan ruang-ruang kenangan.
Gema dari Masa Silam
Ketika tirai panggung terbuka, Elvy Sukaesih, sang ratu dangdut, muncul dalam busana gemerlap yang memantulkan cahaya seperti serpihan bintang. Ia membuka malam dengan senyum dan air mata, seolah tahu betul: setiap bait lagu yang ia nyanyikan akan menggetarkan hati mereka yang pernah tumbuh bersama suara A. Rafiq.
Dua lagu ia persembahkan—satu di antaranya “Sengol-sengolan” versi baru, dengan lirik yang disentuh ulang untuk malam penghormatan ini. Dalam dentum gendang dan seruling, ruangan seketika “pecah”—ribuan ponsel terangkat, pundak bergoyang, dan wajah-wajah berkilat air mata. Bukan karena duka, melainkan rasa syukur: bahwa legenda tak pernah benar-benar mati.
Nada, Testimoni, dan Doa
Setelah Elvy turun dari panggung, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengambil mikrofon. Dengan nada lirih tapi tegas, ia berkata, “Musik dangdut adalah milik Indonesia. Ia mungkin lahir dari banyak unsur, tapi darahnya mengalir di nadi kita semua. Maka sudah seharusnya dangdut mendunia.”
Setelah itu, panggung menjadi altar nostalgia. Mansyur S, Cici Paramida, Kaka Slank, Nazar, dan nama-nama lain bergantian menyalakan api kenangan. Ketika Kaka Slank membawakan “Miliku” karya A. Rafiq, ia berujar,
“Sebelum jadi vokalis, saya tumbuh dari lagu-lagu A. Rafiq. Suaranya, caranya bernyanyi—itu inspirasi pertama saya.”
Tawa dan tangis mengalir bersama cahaya lampu yang menari di udara. Fariuz, puteri A. Rafiq, menjadi pembawa acara bersama Sule, pelawak yang malam itu mencoba menanggalkan kelucuannya, berganti menjadi “bayangan” A. Rafiq—lenggoknya, suaranya, bahkan jas bergaya Elvis ala Bollywood yang menjadi ciri sang legenda.
Dan ketika Nazar muncul, seruan riuh seakan mengguncang atap GBK. Ia membawakan “Cantik”, lagu yang seolah tak pernah menua. Nazar tak hanya bernyanyi, ia bercakap dengan penonton, memanggil satu per satu, “Mana yang di kanan? Mana yang di kiri?”
Lalu musik kembali menggulung seperti ombak, membawa semua dalam euforia masa muda yang datang kembali.
Dari Ratu ke Raja
Konser dibuka oleh sang ratu, ditutup oleh sang raja. Rhoma Irama muncul di penghujung acara. Ia tak hanya bernyanyi, ia bercerita. Tentang masa muda, tentang persahabatan dengan A. Rafiq, tentang perjuangan membentuk PAMMI—wadah penyanyi dangdut yang dulu dianggap sebelah mata.
“Dangdut kini bukan hanya milik masa lalu. Ia terus hidup karena orang-orang seperti A. Rafiq, yang menyalakan jalan untuk kita semua,” ujar Rhoma, sebelum melantunkan lagu “Pandangan Pertama” yang membuat nama sang legenda melesat ke seluruh nusantara.
Dan di akhir lagu itu, seluruh pengisi acara naik ke panggung. Elvy, Kaka, Mansyur, Cici, Nazar, bahkan Sule. Mereka berdiri sejajar, menyanyikan bersama “Pandangan Pertama”—bukan sekadar lagu cinta, tapi lagu tentang kenangan, tentang cinta yang tak berakhir bahkan setelah suara terakhir padam.
Kala Rindu Terbayar Lebih
Malam semakin larut. Ribuan penonton tak segera pulang. Beberapa masih berdiri, menatap panggung kosong yang baru saja menyalakan kembali api kenangan. Di sudut ruangan, seorang lelaki tua berkata lirih pada cucunya,
“Itu dia, Nak… penyanyi zaman kakek dulu. Orang yang membuat kita jatuh cinta pada musik, dan pada hidup.”
Konser “Tribute to A. Rafiq” bukan sekadar pergelaran musik. Ia adalah surat cinta, dikirim dari masa kini kepada masa lalu—dan diterima oleh mereka yang percaya bahwa suara tidak pernah mati, hanya bergema di tempat yang lebih tinggi.
Malam itu, rindu kepada A. Rafiq benar-benar terbayar. Bahkan lebih. (NMC)