“Pandangan Pertama”, Senandung untuk Sang Legenda A. Rafiq
INVENTIF —Mungkin tak ada bentuk penghormatan yang benar-benar sepadan bagi seorang legenda.
Waktu boleh meluruhkan usia, tetapi tidak mampu menghapus gema suara yang dulu mengguncang hati jutaan pendengar. Dan kini, dalam ruang yang penuh kenangan dan denting nada nostalgia, nama A. Rafiq kembali menggema melalui sebuah konser bertajuk “Pandangan Pertama, Tribute to A. Rafiq.”
Tribute ini bukan sekadar panggung musik—ia adalah altar kecil di mana bangsa ini menundukkan kepala, memberi hormat pada sosok yang pernah membuat dunia panggung berguncang oleh irama dangdut klasik yang elegan, sopan, dan sekaligus menggoda.
Sebuah Penghormatan untuk Sang Pendobrak
Bertempat di Kementerian Kebudayaan, Jakarta, Jumat (24/10), digelar konferensi pers yang menandai babak awal perayaan itu. Rencananya, konser penghormatan akan dihelat pada Selasa (28/10) mendatang, dihadiri para maestro dan bintang lintas generasi — dari Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, hingga para penyanyi muda generasi Z yang tumbuh mengenal dangdut lewat layar ponsel, bukan piringan hitam.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut konser ini sebagai wujud cinta insan musik Indonesia untuk sang pionir.
“A. Rafiq adalah pelopor musik di negeri ini. Ia telah mendahului kita, tapi semangatnya tetap hidup lewat karya dan mereka yang terinspirasi olehnya,” ujarnya dengan nada lirih namun penuh bangga.
Menurut Fadli, tribute ini juga menjadi ruang untuk merayakan keragaman wajah musik dangdut—dari koplo hingga rock, dari klasik hingga remix digital. Sebuah bukti bahwa dangdut tak pernah kehilangan bentuknya, hanya berevolusi, menyesuaikan dengan detak zaman.
Dangdut: Dari Panggung Rakyat ke Dunia Internasional
“Dangdut adalah musik dari Indonesia yang mendunia,” kata Fadli lagi, menegaskan bahwa pemerintah mendukung penuh perkembangan musik asli Nusantara ini.
Ia bahkan menyebut, musik merupakan bagian dari soft power bangsa—seperti yang dilakukan India dengan Bollywood-nya, Amerika dengan jazz dan pop, serta Korea dengan K-Pop.
“Kami ingin lahir Dangdut Wave dari Indonesia—gelombang musik yang membawa identitas bangsa ke telinga dunia,” ujarnya, mengundang tepuk tangan hangat dari para seniman yang hadir.
Elvy dan Kenangan yang Tak Pernah Pudar
Di antara mereka yang hadir, Elvy Sukaesih, sang Ratu Dangdut, tampak menahan haru. Suaranya lembut saat mengenang sahabat sekaligus partner duetnya itu.
“A. Rafiq adalah legenda. Belum ada yang benar-benar bisa menggantikan,” tuturnya, mengenang masa-masa ketika mereka berduet membawakan lagu ‘Dari Mata Turun ke Hati’ dan ‘Sengol-sengolan’ di layar lebar.
Ia tersenyum saat mengenang gaya panggung A. Rafiq yang flamboyan, penuh gaya seperti aktor-aktor India.
“Saya suka film India, terutama Sanjay. Gayanya mirip A. Rafiq—beda-beda tipis,” ujarnya disambut tawa kecil para wartawan.
Menurut Elvy, A. Rafiq punya suara yang unik—tinggi, nyaring, nyaris lembut seperti perempuan. “Makanya, kalau duet sama dia enak, langsung nyatu di panggung,” kenangnya, matanya menerawang jauh ke masa lalu.
Konser Tanpa Tiket, Tapi Penuh Makna
Konser “Pandangan Pertama, Tribute to A. Rafiq” tidak dijual bebas. Ia bukan acara komersial, melainkan perayaan yang sakral.
Undangan hanya diberikan khusus, sementara para penggemar dapat memperoleh kesempatan hadir melalui gim interaktif di akun Instagram resmi acara tersebut. Siapa pun yang beruntung memenangkan permainan itu akan mendapat undangan untuk hadir—menyaksikan, merasakan, dan mengenang.
Mungkin di sanalah letak keindahan sesungguhnya dari acara ini: ia bukan hanya tentang musik, tetapi tentang rasa hormat. Tentang mengenang seorang seniman yang tidak hanya menyanyi, tetapi juga menyuarakan zaman.
Epilog: Pandangan Pertama, Cinta yang Tak Pernah Redup
Setiap generasi memiliki nadanya sendiri, tapi hanya sedikit yang mampu menciptakan melodi yang melampaui waktu. A. Rafiq adalah salah satunya—ia tak sekadar bernyanyi, ia menari di antara nada dan makna, membuat musik dangdut bukan sekadar hiburan, tapi budaya.
Kini, bertahun setelah ia pergi, namanya tetap menjadi pandangan pertama yang tak tergantikan dalam sejarah musik Indonesia.
Dan di panggung penghormatan itu nanti, setiap denting gendang, setiap petikan melodi, akan menjadi doa—bahwa legenda tak pernah mati, hanya berpindah tempat: dari panggung dunia, ke hati para pencintanya. ( NMC)