INVENTIF – Perhitungan kerugian lingkungan dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah senilai Rp300 triliun mendapat sorotan tajam dari para ahli dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/11).
Ahli Ekologi dan Teknik Perhitungan Kerugian Lingkungan Hidup, Dr. Dadan Sudana Wijaya, mengungkapkan, terdapat sejumlah kesalahan mendasar dalam penghitungan yang dilakukan berdasarkan Permen LH No. 7 Tahun 2014.
Menurut Dadan, salah satu kekeliruan adalah penggunaan metode penghitungan kerugian terkait air yang hanya berbasis luasan wilayah, bukan kubikasi seperti yang seharusnya.
“Dalam Permen 7, perhitungan kerugian lingkungan terkait air harusnya berdasarkan kubikasi, bukan sekadar luasan. Kesalahan seperti ini dapat memengaruhi akurasi nilai kerugian yang diajukan,” ungkap Dadan.
Dadan juga menyoroti penggunaan standar baku mutu yang tidak disesuaikan dengan kondisi lokal. Sebagai contoh, parameter pH air yang digunakan dalam perhitungan berkisar 7-9, padahal baku mutu air di Bangka, lokasi tambang yang menjadi sorotan, adalah pH 4.
“Setiap daerah memiliki baku mutu yang berbeda. Dalam kasus ini, data baku mutu lokal seharusnya digali terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang akurat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dadan mempertanyakan klaim kerusakan lingkungan dalam kasus ini. Ia menjelaskan bahwa penambangan timah tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya, melainkan hanya menghasilkan limbah berupa air cucian material dan limpasan air hujan.
“KLHK sendiri mengkategorikan proper tambang PT Timah dalam kategori biru, yang berarti baik. Bahkan, smelter tambangnya masuk kategori emas. Ini menandakan tidak ada pelanggaran lingkungan yang signifikan,” tambahnya.
Ahli Kerusakan dan Remediasi Tanah/Lahan, Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, juga memberikan pandangannya mengenai metodologi penghitungan kerugian lingkungan. Menurutnya, proses ini tidak bisa hanya mengandalkan rumus sederhana.
“Setiap ekosistem memiliki karakteristik unik yang tidak bisa disamaratakan. Menghitung kerusakan tanah seluas 70 ribu hektare, misalnya, tidak cukup dengan mengambil beberapa sampel saja. Akurasi membutuhkan pemeriksaan mendetail,” ujar Gunawan.
Ia juga menjelaskan bahwa reklamasi tambang tidak berarti mengembalikan lahan ke kondisi semula.
“Reklamasi tidak sama dengan rehabilitasi. Tujuannya bukan mengembalikan hutan yang rusak menjadi hutan lagi, tetapi menyesuaikan peruntukan baru, misalnya menjadi lahan pertanian atau reservoir air,” paparnya.
Gunawan menambahkan, perubahan rencana reklamasi juga dimungkinkan dengan persetujuan pemerintah, terutama jika ditemukan potensi tambang yang lebih besar dari perkiraan awal.
Tanggung Jawab Negara dan Pendekatan Ekonomi
Ahli Manajemen Hutan, Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, menegaskan bahwa penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh pemerintah menunjukkan adanya tanggung jawab negara atas dampak lingkungan.
“Kerusakan lingkungan akibat tambang adalah tanggung jawab negara, sedangkan badan usaha hanya bertanggung jawab pada reklamasi,” katanya.
Ia juga menyarankan penggunaan pendekatan ekonomi dalam menghitung kerugian lingkungan.
“Kerugian lingkungan harus dihitung dengan membandingkan kondisi awal dan akhir ekosistem. Jika nilai jasa ekosistem berkurang, barulah dapat disebut kerugian,” jelasnya.
Sidang ini juga mengungkap pentingnya akurasi dan pendekatan yang komprehensif dalam menghitung kerugian lingkungan. Para ahli sepakat bahwa setiap kasus membutuhkan kajian mendalam yang mempertimbangkan karakteristik lokal dan metodologi yang tepat. Proses ini tidak hanya penting untuk keadilan hukum tetapi juga untuk memastikan tanggung jawab lingkungan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (RNZ)