AS Bebankan Tarif 47 Persen, Indonesia Langsung Lobi-lobi Diplomatik
INVENTIF – Sejumlah produk ekspor nasional kini dibebani tarif tinggi oleh Amerika Serikat (AS), menyusul kebijakan dagang agresif dari pemerintahan Presiden Donald Trump.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, tarif untuk produk Indonesia bahkan bisa mencapai hingga 47 persen, jauh lebih besar dibandingkan negara-negara Asia lainnya.
“Tarif umum 10 persen diberlakukan secara menyeluruh oleh AS untuk semua negara, namun ada tambahan tarif lain yang dikenakan secara khusus kepada produk Indonesia, terutama tekstil dan garmen,” kata Airlangga dalam konferensi pers virtual dari Washington DC, Jumat (18/4).
Menurut Airlangga, beban tarif ekspor Indonesia menjadi sangat berat karena tumpang tindih kebijakan tarif. Produk tekstil dan garmen misalnya, yang semula dikenakan tarif 10 hingga 37 persen, kini terkena tambahan 10 persen lagi akibat kebijakan baru AS. Dengan demikian, tarif produk Indonesia bisa mencapai 47 persen.
Airlangga menjelaskan bahwa kondisi ini membuat produk Indonesia kehilangan daya saing di pasar AS. Para importir Amerika enggan menanggung beban tarif sendiri dan mendorong eksportir Indonesia untuk berbagi biaya. Hal ini memaksa pelaku usaha di dalam negeri menanggung beban tambahan yang signifikan.
“Ekspor kita jadi jauh lebih mahal. Tambahan biaya tarif tidak sepenuhnya ditanggung oleh pembeli, melainkan dibagi ke eksportir. Ini tentu membuat pelaku usaha Indonesia semakin tertekan,” ujar Airlangga.
Ia menambahkan bahwa tarif yang dikenakan terhadap Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara Asia lain seperti Vietnam, Thailand, atau Filipina.
Untuk merespons situasi ini, pemerintah Indonesia bergerak cepat melakukan lobi diplomatik ke Washington DC. Airlangga bersama sejumlah menteri melakukan pertemuan dengan tiga kementerian utama di AS, sambil membawa proposal negosiasi dagang.
“Kami membawa tawaran strategis untuk meningkatkan hubungan dagang. Salah satunya adalah komitmen untuk menambah impor produk AS, terutama di sektor migas dan pangan,” jelas Airlangga.
Pemerintah Indonesia juga bersedia melonggarkan sejumlah regulasi guna mempermudah masuknya produk AS ke pasar domestik. Menurutnya, langkah ini dilakukan untuk membuka ruang kesetaraan tarif dan memperbaiki posisi Indonesia di mata mitra dagang.
“Kami berharap dalam 60 hari ke depan kerangka negosiasi ini bisa berkembang menjadi format perjanjian yang konkret dan disetujui oleh kedua negara,” imbuhnya.
Selain lobi ke AS, pemerintah juga tengah menyiapkan strategi jangka menengah untuk mendiversifikasi pasar ekspor Indonesia. Beberapa negara yang dijajaki untuk peningkatan kerja sama ekspor antara lain negara-negara Uni Eropa dan Australia.
“Jika kondisi ini tidak membaik, maka salah satu opsi adalah mengalihkan sebagian ekspor ke pasar alternatif yang lebih stabil dan fair,” tambahnya.
Situasi ini menjadi bukti nyata bagaimana perang dagang global berdampak langsung terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah kini berada pada posisi strategis untuk menyeimbangkan antara menjaga hubungan dagang dengan AS dan melindungi industri dalam negeri dari beban tarif yang semakin besar. (RNZ)