Pelarian Modal Orang Kaya Indonesia Guncang Stabilitas Ekonomi, Pemerintah Didesak Bertindak Tegas

0

INVENTIF Fenomena pelarian modal secara besar-besaran kalangan elite kaya Indonesia kembali menjadi sorotan usai laporan investigasi Bloomberg yang dirilis pada 11 April 2025.

Laporan itu mengungkap fakta mencengangkan: ratusan juta dolar AS kekayaan orang kaya Indonesia diam-diam dipindahkan ke luar negeri menggunakan beragam instrumen, mulai dari properti, emas, hingga mata uang kripto seperti USDT (Tether).

Tindakan ini memicu keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat yang menyebut fenomena ini sebagai ‘pengkhianatan terhadap nasionalisme ekonomi’.

“Ini bukan sekadar pelarian modal biasa. Ini adalah bentuk keegoisan sistemik yang menggerogoti fondasi ekonomi nasional dan mencederai rasa tanggung jawab terhadap bangsa,” kata Achmad, Senin (14/4).

Bloomberg melaporkan bahwa arus keluar dana dari Indonesia meningkat drastis sejak Oktober 2024, terutama setelah nilai tukar Rupiah anjlok pada Maret 2025. Seorang bankir swasta menyebut bahwa kliennya dengan kekayaan bersih antara USD 100–400 juta bahkan telah memindahkan 10 persen portofolionya ke aset kripto.

Firma penasihat keuangan di Singapura juga melaporkan bahwa dana yang dialirkan ke properti di Dubai dan Abu Dhabi mencapai USD 50 juta pada Februari 2025 saja atau naik lima kali lipat dibandingkan kuartal sebelumnya.

Menurut Achmad, para pelaku utama dalam skema pelarian modal ini diduga kuat berasal dari kalangan konglomerat komoditas yang juga bermain di sektor finansial.

“Mereka adalah segelintir elite bisnis yang terbiasa bertransaksi lintas negara dan memiliki jaringan keuangan global,” ujarnya.

Achmad menambahkan, identitas para pelaku bukan hal yang sulit untuk dilacak.

“Transaksi mereka tercatat di Bea Cukai, aliran dana mereka bisa ditelusuri dari sistem perbankan nasional dan internasional. Jika pemerintah serius, mereka bisa dibongkar,” tegasnya.

Salah satu hal yang disorot adalah modus baru yang digunakan para pemilik modal. Mereka tidak hanya menyimpan dana di bank luar negeri, tapi juga memindahkannya melalui stablecoin USDT dan pembelian properti melalui perusahaan cangkang (shell company).

“Ini adalah modus jahat yang memanfaatkan celah pengawasan. Stablecoin memungkinkan transfer dana lintas negara secara anonim. Properti dibeli menggunakan visa kerja palsu atau lewat entitas di negara tax haven,” kata Achmad.

Tindakan ini, menurutnya, membuka peluang terjadinya pencucian uang dan penggelapan pajak.

“Ironisnya, banyak dari mereka adalah penerima manfaat dari insentif pemerintah, namun justru mengalihkan keuntungan ke luar neger,.” ujarnya.

Pelarian modal ini juga dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap aturan Dana Hasil Ekspor (DHE). Seharusnya, para eksportir wajib memulangkan devisa ke dalam negeri, namun justru banyak yang menyimpannya di luar negeri.

Achmad menegaskan bahwa saatnya pemerintah tidak hanya bersikap persuasif, melainkan bertindak tegas. Ia menyarankan lima langkah utama:

  1. Memperketat pengawasan transaksi kripto, bekerja sama dengan otoritas global.
  2. Audit kekayaan dan pajak para konglomerat, serta pengungkapan aset global.
  3. Sanksi progresif untuk pelanggaran DHE, termasuk pencabutan izin usaha.
  4. Transparansi kepemilikan properti luar negeri, termasuk pajak progresif.
  5. Revisi UU TPPU, agar mencakup skema pelarian modal via kripto dan shell company.

“Sudah waktunya pemerintah bertindak sebagai wasit yang tegas. Jika perlu, nama-nama pelanggar diumumkan ke publik sebagai bentuk naming and shaming,” ujar Achmad.

Dalam pandangan Achmad, tindakan para pemilik modal yang melarikan kekayaan di saat kondisi ekonomi nasional sedang menghadapi tantangan berat adalah bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan ekonomi bangsa.

“Ketika negara sedang berjuang menjaga fiskal dan kestabilan Rupiah, justru mereka yang selama ini diuntungkan dari kekayaan alam dan tenaga kerja Indonesia malah menjadi pihak pertama yang kabur,” tegasnya.

Ia menegaskan bahwa pelarian modal bukan hanya soal ekonomi, tetapi menyangkut integritas dan tanggung jawab moral. “Setiap rupiah yang bertahan di Indonesia adalah dukungan terhadap kedaulatan bangsa. Sebaliknya, setiap dolar yang lari ke luar negeri adalah bentuk pengkhianatan,” tutup Achmad. (RNZ)


Leave A Reply

Your email address will not be published.