Dua Abad Bahrul Ulum: Dari Tambakberas, Cahaya Peradaban Itu Tak Pernah Padam

0

 

INVENTIF — Tidak banyak lembaga yang mampu menua dengan indah tanpa kehilangan arah. Namun, Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU) di Tambakberas, Jombang, adalah pengecualian.

Sejak didirikan pada tahun 1825 oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, pesantren ini tak sekadar menjaga ilmu, tetapi juga menyalakan api kebangsaan. Dua abad telah berlalu, namun ruh perjuangan sang pendiri terus hidup, mengalir dalam setiap denyut kehidupan santri dan masyarakatnya.

Malam peringatan dua abad itu, Sabtu (18/10/2025), menjadi saksi bagaimana Tambakberas kembali bersinar. Ribuan santri, alumni, dan warga tumpah ruah di halaman pesantren. Langit Jombang bergetar oleh lantunan sholawat, bersahutan dengan lagu “Indonesia Raya” yang membuka acara penuh khidmat itu.

Bagi warga Jombang, Bahrul Ulum bukan sekadar lembaga pendidikan — ia adalah penjaga ingatan kolektif, penjaga nilai yang menautkan ilmu dan kebangsaan. Dari sinilah Mbah Wahab menanamkan gagasan besar: bahwa santri tak hanya berzikir di mushala, tapi juga berpikir untuk bangsa.

Dalam pidatonya, KH. M. Wafiyul Ahdi, Ketua Umum Yayasan PPBU, mengenang langkah revolusioner Mbah Wahab. “Beliau telah membuka cakrawala berpikir santri — bahwa ilmu dunia dan ilmu akhirat bisa berjalan seiring,” tuturnya di hadapan ribuan jamaah.

Sejarah mencatat, pada awal abad ke-20, Mbah Wahab memperkenalkan huruf Latin, pelajaran berhitung, dan ilmu umum di madrasah. Di saat banyak pesantren memilih menutup diri, Bahrul Ulum justru membuka diri terhadap pengetahuan dunia. Dari sinilah lahir generasi santri yang berpikiran terbuka, berjiwa nasionalis, dan tetap bersahaja dalam iman.

Kini, dua abad berselang, warisan itu menjelma nyata: 19 lembaga pendidikan berdiri di bawah naungan Bahrul Ulum — dari madrasah diniyah hingga universitas. Dari rahim pesantren ini lahir ribuan ulama, cendekiawan, dokter, guru, dan pejabat publik yang membawa semangat Mbah Wahab ke seluruh penjuru negeri.

Puncak peringatan dua abad Bahrul Ulum malam itu tak hanya menampilkan orasi dan doa. Di antara keriuhan, Gus Miftah hadir dengan gaya khasnya yang jenaka namun menggigit.

“Kekuatan pesantren hari ini terletak pada kemampuannya menjaga tradisi sambil terus berinovasi,” ujar Gus Miftah disambut pekik takbir.

“Bahrul Ulum adalah bukti bahwa agama dan nasionalisme bisa berjalan beriringan tanpa kehilangan ruh keislaman,” tegasnya.

Selepas tausiah, irama selawat reggae dari grup Amed Uye menggema. Suara pujian kepada Nabi dibalut ritme modern, menyatukan masa lalu dan masa kini. Sementara Cak Percil Cs menutup malam dengan tawa dan satire khas pesantren — ringan, namun sarat hikmah.

Di balik gemerlap lampu dan tawa jamaah, ada keharuan yang sunyi. Di wajah para santri muda, seolah terpantul semangat para pendahulu: belajar tanpa lelah, berkhidmat tanpa pamrih.

Peringatan dua abad ini telah dimulai sejak 16 Oktober 2025, dibuka dengan Simposium Nasional yang menghadirkan 30 profesor alumni Bahrul Ulum dari 16 kampus ternama. Mereka membahas masa depan pendidikan Islam di tengah tantangan globalisasi, dan bagaimana pesantren dapat menjadi jangkar moral di dunia yang kian serba cepat.

“Usia dua abad bukan sekadar angka. Ini adalah amanah sejarah,” ujar KH. Wafiyul Ahdi menutup acara. “Kami ingin Bahrul Ulum terus menjadi pusat peradaban Islam yang kontekstual dan relevan dengan zaman.”

Menjelang tengah malam, ribuan lampu hias masih berpendar di langit Tambakberas. Anak-anak santri kecil berbaris rapi, bersarung, menatap panggung dengan mata berbinar. Mereka mungkin belum mengerti arti “dua abad”, tapi mereka tahu satu hal — mereka sedang berdiri di tanah tempat ilmu pertama kali menyala untuk menerangi negeri.

Bahrul Ulum bukan sekadar pesantren tua; ia adalah cahaya yang tak pernah padam — lentera yang terus menuntun Nusantara menuju peradaban. (NMC)

Leave A Reply

Your email address will not be published.