Bhinneka Tunggal Suara, Saat Nada-Nada Indonesia Menyatu di Langit AMI Awards 2025
INVENTIF — Di balik gemerlap panggung dan denting lampu yang menari di langit ibu kota, Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards kembali berdiri tegak — bukan sekadar sebagai ajang penghargaan, melainkan sebagai perayaan hidup dari suara-suara yang menolak sunyi.
Tahun 2025 ini, AMI menghadirkan 63 kategori nominasi, menyaring lebih dari 5.200 karya musik dari Sabang hingga Merauke — angka yang bukan hanya statistik, melainkan denyut dari jantung kebudayaan bangsa.
Tema tahun ini, Bhinneka Tunggal Suara, lahir bukan dari slogan semata, melainkan dari kesadaran bahwa Indonesia bukan sekadar satu bahasa, melainkan ribuan nada yang berpadu dalam harmoni. Di bawah semboyan itu, musik tak lagi sekadar hiburan; ia menjadi bahasa persaudaraan, doa yang disuarakan melalui melodi.
Candra Darusman, sang Ketua Umum AMI yang juga saksi sejarah perjalanan musik Indonesia, menatap podium dengan mata yang menyimpan cahaya nostalgia.
“Banyak musik, banyak jiwa, tapi satu tujuan: mengangkat musik Indonesia untuk dunia,” ujarnya lirih namun penuh keyakinan. Kata-katanya menggema, seperti gema gitar tua yang tak pernah kehilangan gema.
Ribuan karya yang masuk bukan sekadar kompetisi, melainkan kesaksian bahwa bangsa ini masih punya semangat mencipta di tengah hiruk-pikuk algoritma dan pasar digital. Dari bilik kamar yang sempit hingga studio mewah di Jakarta, dari gitar kayu di Kupang hingga komputer jinjing di Makassar — semua bersuara, semua ingin diakui.
Dan tahun ini, ada kejutan: Aransemen Vokal Terbaik — sebuah kategori baru yang menempatkan detail suara sejajar dengan melodi. Di sana, nama-nama seperti Barsena Bestandhi, Kamga, Natasya Elvira, hingga RINNI dan Teza Sumendra berdiri, membawa karya mereka seperti mantra yang menembus batas genre.
Lebih dari sekadar lomba, AMI Awards 2025 menjadi cermin: bahwa musik Indonesia tak lagi menunggu untuk dikenal, tapi sedang menulis takdirnya sendiri di panggung dunia. Bahkan kini, AMI menautkan tangan dengan Music Award Japan (MAJ) — langkah simbolis menuju diplomasi budaya lewat nada. Kolaborasi ini, seperti jembatan bambu di atas samudra, menghubungkan Timur dan Barat melalui melodi, bukan senjata.
Dan pada 19 November 2025 nanti, saat tirai malam puncak terbuka, ribuan mata akan menyaksikan: siapa yang terpilih, siapa yang menggetarkan. Tapi sejatinya, semua telah menang — karena mereka telah berani bernyanyi di tengah dunia yang terlalu ramai berbicara.
Bhinneka Tunggal Suara bukan sekadar tema. Ia adalah doa: agar setiap senar, setiap ketukan, dan setiap desah napas penyanyi di negeri ini
menyatu menjadi satu lagu panjang bernama Indonesia. (NMC)