Film “Tak Kenal Maka Ta’aruf”, Romansa Syariah untuk Generasi yang Trauma PDKT
INVENTIF — Di tengah banjir film bergenre horor dan superhero gagal move on, muncul sebuah karya yang mencoba mengobati luka generasi rebahan lewat jalan yang syar’i, yakni film “Tak Kenal Maka Ta’aruf”.
Sebuah kisah cinta remaja yang katanya bukan tentang pacaran, tapi juga bukan sepenuhnya tidak tentang pacaran. Singkatnya: cinta halal tapi tetap ada deg-degannya.
Film ini mengangkat isu yang sungguh relatable — filophobia, alias takut jatuh cinta. Sebuah penyakit sosial yang kini lebih menular dari flu musiman, terutama di kalangan remaja yang lebih fasih mengetik “healing” daripada “komitmen”.
“Zoya takut jatuh cinta,” kata Saskia Chadwick, pemeran utama yang kebagian tugas memerankan gadis trauma asmara. Trauma bukan karena pernah disakiti, tapi karena takut dosa. Romantis, tapi berbatas syariat. Dalam dunia film ini, cinta tak diungkap dengan “I love you”, melainkan dengan “Bismillah, ta’aruf yuk?”.
Para produser film ini — yang sebagian besar orang tua dari remaja — menyebut karyanya sebagai “alternatif tontonan positif”. Tentu saja, karena sudah terlalu banyak film yang bikin remaja ingin pacaran, kini saatnya film yang bikin mereka ingin ta’aruf-an.
“Tujuan kami sederhana,” ujar sang produser dalam konferensi pers yang penuh niat baik, “kami ingin anak muda belajar bahwa cinta itu suci — asal lewat jalur yang benar.”
Ya, cinta di sini tak lagi berawal dari tatap mata, tapi dari tatap proposal biodata calon pasangan.
Sutradara, dengan penuh keyakinan ia berkata, “Ta’aruf itu pacaran juga, tapi terarah.” Sebuah kalimat yang tampaknya akan mengubah seluruh kamus romantika Indonesia: mengganti dating apps dengan biro jodoh syariah.
Film ini mengambil lokasi syuting di Bogor dan Malang — dua kota yang konon paling sering dijadikan tempat merenung oleh mereka yang baru putus cinta dan ingin “hijrah perasaan”. Dengan latar hijau kampus dan suasana hujan, Tak Kenal Maka Ta’aruf tampak seperti drama Korea yang menyesap madu dari kitab fiqih.
Soundtrack-nya, “Majas Cinta”, tak kalah mendalam. Dinyanyikan oleh mahasiswi UIN, diaransemen oleh dosen ISI, dan terinspirasi dari puisi sang penulis skenario — sebuah kolaborasi yang membuat cinta terdengar seperti mata kuliah lintas disiplin antara agama, seni, dan kenangan masa SMA.
Sang sutradara mempersembahkan film ini untuk orang tuanya, terutama mendiang ayahandanya, Toro Margens. Sebuah gestur tulus yang membuat penonton hampir lupa bahwa ini sebetulnya film tentang remaja takut jatuh cinta.
Pada akhirnya, Tak Kenal Maka Ta’aruf bukan sekadar film. Ia adalah gerakan moral, ajakan halus, sekaligus terapi nasional bagi generasi yang bingung antara ingin mencintai atau takut dosa. Barangkali karena cinta sering kali disensor (NMC)