FFW 2025 & UHAMKA Bahas Film Indonesia, Antara Merawat Ingatan dan Menghindari Lupa Kolektif

0

 

INVENTIFDi tengah derasnya gempuran konten singkat dan tren “scroll lebih cepat dari mikir”, Festival Film Wartawan (FFW) 2025 dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) justru memilih langkah berani: berhenti sejenak untuk membaca film Indonesia.

Diskusi keren bertajuk “Merawat Ingatan, Merangsang Mimpi: Membaca Film Indonesia” itu digelar Senin (20/10) di Aula Lantai 4 UHAMKA, Jakarta Selatan.

Acara ini dihadiri para insan film, akademisi, dan tentu saja mahasiswa yang masih percaya bahwa menonton film tak harus diiringi notifikasi TikTok.

Hadir sebagai pembicara antara lain:

  • M. Soleh Artiawan, Pamong Budaya Ahli Muda, mewakili Direktur Film, Musik, dan Seni Kementerian Kebudayaan RI.
  • Titin Setiawati, M.I.Kom, Dosen FISIP UHAMKA sekaligus Komisioner LSF — lembaga yang memastikan adegan pelukan tak melanggar Pancasila.
  • Benny Benke, Ketua FFW 2025.
  • Peter Surya Wijaya, Eksekutif Produser Imperial Pictures.
  • Hartawan Triguna, Produser Assalammualaikum Beijing 2, yang masih percaya film cinta bisa diselamatkan dari klise.

Diskusi berdurasi tiga jam itu dimoderatori Irish Riswoyo, yang sukses menjaga suasana tetap hangat meski beberapa peserta sempat tergoda membuka aplikasi streaming di tengah acara.

Film Sebagai Cermin dan Cermin Sering Berdebu

Dekan FISIP UHAMKA, Dr. Tellys Corliana, membuka acara dengan pernyataan reflektif, “Film Indonesia pernah mengalami masa sulit, tapi kini telah bangkit.”

Pernyataan yang terdengar seperti kutipan abadi setiap kali ada seminar film — dan tetap relevan, sebab film kita memang selalu “bangkit” tapi entah dari tidur yang mana.

Tellys menegaskan pentingnya memahami film sebagai bagian dari budaya. “Film terus beradaptasi dan berevolusi,” katanya. Benar, meski evolusi itu terkadang lebih cepat di sisi algoritma YouTube ketimbang di ruang produksi film nasional.

Wartawan dan Sensor: Dua Profesi yang Sama-Sama Menilai

Ketua FFW 2025, Benny Benke, menegaskan bahwa penilaian FFW dilakukan secara independen oleh wartawan yang mengikuti perkembangan film Indonesia.

“Kami menilai film dengan cara kami sendiri,” ujarnya tegas.

Pernyataan ini mengingatkan publik bahwa di negeri ini, semua orang punya “cara sendiri” untuk menilai — mulai dari sensor film sampai komentar warganet di kolom YouTube.

Sementara itu, Titin Setiawati dari LSF menjelaskan bahwa pada 2024, lembaganya telah menyensor puluhan ribu film. Ia menyebut, “Kami melindungi masyarakat dari dampak negatif adegan atau cerita film.”

Masyarakat pun bisa tenang — sebab sementara dunia sedang gencar membahas AI ethics, Indonesia masih setia membahas adegan yang layak untuk 13+.

Kreativitas, Anggaran, dan Ilusi Keajaiban

Produser Hartawan Triguna mengingatkan pentingnya kreativitas dalam produksi film.“Dengan kreativitas, anggaran terbatas bisa menghasilkan karya bernilai miliaran,” katanya penuh semangat.

Pernyataan yang patut disematkan di dinding setiap sineas muda, tepat di samping poster “Dana Belum Cair”.

Sementara Peter Surya Wijaya dari Imperial Pictures menyebut diskusi ini sebagai upaya memahami selera generasi muda. “Kami ingin tahu film seperti apa yang mereka mau,” katanya.
Sayangnya, jawaban paling jujur mungkin: “Yang durasinya 30 detik dan bisa viral.”

Negara dan Ingatan: Dua Hal yang Perlu Diperjuangkan

Perwakilan Kementerian Kebudayaan, Soleh Artiawan, menutup sesi dengan harapan klise tapi tulus: “Kami berharap Indonesia bisa menjadi tuan rumah perfilman di negeri sendiri.”

Harapan yang terdengar sederhana, tapi pelik — karena jadi tuan rumah berarti harus siap menghadapi tamu, termasuk penonton yang kini lebih akrab dengan film Korea dan drama Thailand.

Catatan Akhir: Film Masih Hidup, Tapi Butuh Penonton yang Sadar

Diskusi “Merawat Ingatan, Merangsang Mimpi” menjadi semacam pengingat halus bahwa film bukan sekadar tontonan, tapi juga catatan sosial. Bedanya, catatan itu kini bersaing dengan feed media sosial yang lebih cepat berubah dari plot film Hollywood.

Namun, jika masih ada kampus seperti UHAMKA dan festival seperti FFW yang mau membaca film alih-alih sekadar menontonnya, mungkin masih ada harapan bahwa bangsa ini belum sepenuhnya kehilangan daya ingat — meski daya tahan terhadap spoiler sudah menurun drastis.

Malam Puncak Festival Film Wartawan (FFW) 2025 dijadwalkan berlangsung November mendatang — semoga jadi ajang yang tak hanya memberi piala, tapi juga mengingatkan kita bahwa film, seperti halnya bangsa ini, masih butuh penonton yang mau berpikir. (NMC)

Leave A Reply

Your email address will not be published.