Kemenag Refleksi Setahun Asta Cita,  Dari Kerukunan hingga Wakaf Hutan, Semua Ada, Semua Baik-Baik Saja

0

 

INVENTIF— Satu tahun sudah pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka berjalan.

Dan di antara banyak kementerian yang sibuk merapikan laporan capaian, Kementerian Agama (Kemenag) tampil percaya diri — seolah ingin berkata: semua sudah beres, umat rukun, guru sejahtera, dan bumi pun lestari.

Dipimpin oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar, Kemenag meneguhkan komitmen menafsirkan Asta Cita bukan sekadar janji politik, tapi sebagai “kitab suci kebijakan publik” — yang katanya, diterjemahkan langsung dalam bentuk kesejahteraan, pendidikan, dan kerukunan umat.

“Asta Cita bukan sekadar rencana politik, tapi arah moral bangsa,” ujar Menag, dalam nada yang membuat para staf mencatat cepat-cepat, khawatir kehilangan kalimat yang mungkin akan jadi kutipan wajib dalam laporan tahunan.

Kerukunan: Damai itu Indah, Apalagi Terekam Aplikasinya

Dalam satu tahun terakhir, Kemenag mengklaim sukses merawat kerukunan melalui aplikasi Si-Rukun — sistem deteksi dini konflik keagamaan yang bisa memantau suhu toleransi di daerah, mungkin seperti termometer sosial.

Sebanyak 500 penyuluh agama dilatih menjadi “detektor damai”, siap turun tangan kalau ada yang ribut soal rumah ibadah atau perbedaan keyakinan di grup WhatsApp warga.

Kemenag pun berbangga hati: menurut survei Poltracking, tingkat kepuasan publik terhadap “kerukunan antarumat beragama” mencapai 86,7%. Angka yang nyaris setara dengan tingkat kepuasan orang setelah buka puasa — artinya, hampir sempurna.

“Kerukunan adalah prasyarat pembangunan,” tegas Menag, sembari menambahkan bahwa kedamaian ini adalah hasil dari kerja kolektif dan bukan karena masyarakat sudah lelah berdebat di media sosial.

Makan Bergizi, Cek Kesehatan, dan Cinta Tanah Air

Dalam semangat Asta Cita, Kemenag juga ikut program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Cek Kesehatan Gratis (CKG). Lebih dari 12,5 juta siswa dari madrasah dan lembaga keagamaan sudah menikmati manfaatnya.

Para santri pun kini bukan hanya kenyang rohani, tapi juga jasmani — setidaknya dalam laporan kegiatan. “Agama tidak hanya memberi surga, tapi juga gizi,” begitu kira-kira semangatnya.

Sementara itu, 4.450 UMKM mendapat bantuan lewat program Masjid Berdaya dan Berdampak (MADADA). Masjid kini bukan hanya tempat doa, tapi juga kantor kecil tempat takmir belajar manajemen ekonomi — barangkali sebentar lagi akan ada pelatihan branding dakwah digital.

Guru Sejahtera, Dosen Bahagia (Setidaknya di Slide Presentasi)

Untuk pertama kalinya, tunjangan profesi guru non-PNS dinaikkan dari Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta per bulan.
Kenaikan yang dianggap “signifikan” — meski beberapa guru di lapangan masih sibuk menghitung, apakah “signifikan” itu berarti cukup untuk bayar sewa dan beli buku.

Kemenag juga menggelar Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi 206.325 guru dan 5.000 dosen. Para guru disebut sebagai “ruh pendidikan” — meski, sebagaimana ruh, seringkali belum terlihat hasilnya di kas rekening.

“Guru dan dosen adalah ruh pendidikan. Ketika mereka sejahtera, pendidikan agama bermartabat,” ujar Menag. Sebuah kalimat yang indah, meski keindahan sering kali belum cukup menggantikan kebutuhan dasar.

Ekoteologi dan Wakaf Hutan: Dari Surau ke Alam Raya

Tak berhenti di urusan manusia, Kemenag kini juga mengurus ekologi.
Dengan bangga, mereka melaporkan keberhasilan menanam lebih dari satu juta pohon, mendirikan 13 KUA ramah lingkungan, dan menerbitkan buku tafsir ayat-ayat ekologi — sebuah upaya memadukan iman dan karbon.

Program Hutan Wakaf seluas 40 hektare pun digulirkan. Sebuah ide brilian: menyatukan ibadah dan reboisasi. Karena kalau pohon tumbuh, oksigen bertambah, pahala pun mengalir.

Kesimpulan: Asta Cita dan Asa Citra

Satu tahun refleksi Kemenag menunjukkan bahwa semua sudah berjalan, setidaknya di atas kertas dan layar infografis. Kerukunan dirawat, guru diberdayakan, santri bergizi, dan bumi pun hijau — seakan Asta Cita telah menjelma menjadi Asta Citra, delapan wajah kebaikan yang siap difoto setiap kali konferensi pers.

Namun, di balik angka dan aplikasi, publik masih berharap: semoga agama tidak berhenti di podium, program tidak berhenti di brosur, dan kebijakan tidak berhenti di kalimat indah.

“Agama harus mewujud dalam kebijakan yang menyejahterakan, mendidik, dan memuliakan manusia,” kata Menag menutup acara.

Sebuah kalimat yang, bila benar-benar dijalankan, mungkin akan membuat berita seperti ini tak perlu lagi terdengar satir. (NMC)


 

Leave A Reply

Your email address will not be published.