Forjukafi Luncurkan QRIS Wakaf Tunai, Kala Wartawan Turun Tangan Menambal Lubang APBN

0

 INVENTIF — Mungkin inilah bab baru dalam sejarah keuangan nasional: wartawan kini bukan hanya menulis tentang wakaf, tapi juga mengelola wakaf.

Forum Jurnalis Wakaf dan Zakat Indonesia (Forjukafi) meluncurkan QRIS Wakaf Tunai Jalasurga, langkah inovatif yang mengubah jurnalis dari sekadar pengamat menjadi pengelola dana umat — sebab kalau negara sibuk berutang, rakyat boleh, kan, ikut menambal?

Peluncuran ini dibungkus dalam seminar berjudul “Wakaf Preneur” di Jakarta, yang dihadiri Wakil Presiden ke-13 RI Ma’ruf Amin, yang sekaligus dikukuhkan menjadi Ketua Dewan Kehormatan Forjukafi.
Sebuah jabatan baru, untuk sosok yang memang sudah cukup terhormat, tapi kini ditambah “dewan”-nya agar lebih berwibawa di dunia perwakafan.

Wapres: Wartawan Ngurus Wakaf, Ini Kejutan

Dalam sambutannya, Ma’ruf Amin tampak terkejut — atau mungkin kagum — melihat wartawan kini ikut berjuang di jalur amal.

“Ada wartawan ngurusi wakaf, ini kejutan. Biasanya kan ngurusi berita,” ujarnya.

Kejutan, benar. Sebab selama ini wartawan lebih sering mengurusi pernyataan pejabat tentang kemiskinan, ketimbang langsung mengurusi kemiskinan itu sendiri. Tapi beginilah Indonesia: profesi kerap harus multitasking — pagi menulis berita, sore menghimpun dana abadi, malam menghibur diri dengan harapan.

Ma’ruf menambahkan bahwa wakaf adalah sedekah jariyah yang tidak boleh berkurang modalnya. “Wakaf itu seperti bola salju,” katanya. Sayangnya, banyak rakyat merasa justru mereka yang jadi salju — menggelinding di bawah beban ekonomi yang makin dingin.

Forjukafi: Kalau Negara Sibuk, Biarlah Rakyat Mengurus

Ketua Umum Forjukafi, Wahyu Muryadi, dengan penuh semangat menyatakan bahwa keterlibatan jurnalis dalam dunia wakaf adalah bagian dari solusi sosial.

“Dengan wakaf, kita bisa mengatasi kemiskinan. Jadi nanti APBN bisa rehat sejenak,” katanya sambil tersenyum.

Sebuah pernyataan ringan yang justru terasa berat. Bayangkan: seorang jurnalis berharap agar wakaf bisa menggantikan peran APBN. Di negeri yang para pejabatnya berganti mobil dinas setiap tahun, mungkin sedekah rakyat memang harus menjadi alat bantu negara.

Atau seperti yang biasa dikatakan di ruang redaksi: “Kalau pemerintah tak bisa menolong rakyat, biarlah rakyat menolong pemerintah.”

Kemenag dan BWI: Jurnalis Sudah Jadi Nazhir, Siapa Selanjutnya?

Sekretaris Jenderal Kemenag yang juga Ketua Badan Wakaf Indonesia, Prof. Kamaruddin Amin, mengapresiasi langkah Forjukafi.

“Saya kira ini luar biasa. Wartawan jadi nazhir. Nanti siapa tahu politisi juga ikut, akademisi juga, semuanya jadi pengelola wakaf,” ujarnya.

Sebuah gagasan revolusioner — bayangkan jika setiap profesi jadi pengelola wakaf: dosen berwakaf skripsi, selebritas berwakaf endorsement, dan pejabat berwakaf janji-janji kampanye yang tak pernah ditepati.

Kamaruddin mengingatkan bahwa dana wakaf tidak boleh berkurang “sampai kiamat”. Ia mungkin lupa menambahkan: asal tidak terseret proyek dan laporan keuangan yang misterius.

Potensi Besar, Pengelolaan Lebih Besar

Menurut data BWI, ada 451 ribu titik aset wakaf senilai Rp 2.000 triliun, dan potensi wakaf uang Rp 180 triliun per tahun.
Namun, realisasi penghimpunan baru Rp 3,5 triliun. Sisanya entah di mana — mungkin masih dalam bentuk potensi, seperti potensi bangsa yang sering diucapkan tapi jarang diwujudkan.

Kamaruddin berharap agar masyarakat terus berwakaf, meski mulai dari Rp 10.000. “Sekarang wakaf tidak harus tanah seperti dulu,” katanya.
Benar, kini cukup scan QRIS, dan pahala abadi bisa dibeli lewat ponsel — sebuah inovasi spiritual yang selaras dengan era digital: transaksi cepat, pahala instan.

Di tengah gempuran utang, pajak yang kian rapat, dan subsidi yang kian menipis, muncul harapan baru bernama wakaf digital.

Barangkali nanti, setiap lubang jalan, rumah sakit rusak, dan sekolah bocor, tak perlu menunggu APBN — cukup QRIS.
Sebab di negeri ini, wakaf bisa lebih nyata dari janji pembangunan.  Apabenar begitu?(NMC)

Leave A Reply

Your email address will not be published.