Kado dari Langit Istana, Ditjen Pesantren dan Doa Santri yang Menjadi Surat Keputusan

0

 

INVENTIF – Barangkali inilah doa yang paling cepat dikabulkan dari langit birokrasi.

Ya, di tengah lantunan shalawat Hari Santri, Presiden Prabowo Subianto menurunkan “wahyu administratif” berupa restu pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren. Sebuah kado yang tak berbungkus pita, tetapi bermaterai dan berkop surat negara.

Menteri Agama Nasaruddin Umar menunduk syukur, bukan semata karena apel Hari Santri berjalan khidmat, melainkan karena harapan lama sejak 2019 akhirnya menemukan bentuknya—setidaknya di atas kertas. “Wabil khusus kepada Wamenag, yang berjuang sesegera mungkin,” ujarnya, seolah mempersembahkan sebait syair bagi Romo Muhammad Syafi’i, sang wakil yang sabar menunggu tanda tangan presiden lebih dari satu dasawarsa.

Sejak era Lukman Hakim Saifuddin, Yaqut Cholil Qoumas, hingga Nasaruddin sendiri, proposal pembentukan Ditjen Pesantren mengembara di antara rak Kemenpan-RB seperti santri mencari restu kiai. Kini, kabar baik itu datang melalui surat nomor B-617/M/D-1/HK.03.00/10/2025—alamat baru bagi harapan dan kerja panjang para pengabdi pesantren.

“Presiden telah menyetujui pembentukan Ditjen Pesantren,” kata Romo Syafi’i, dengan nada lega yang nyaris mistik. “Agar perhatian terhadap pesantren semakin besar—baik dari sisi personalia, pendanaan, maupun program.”

Kalimatnya seolah sederhana, tapi di baliknya tersimpan doa berjuta kiai: semoga “perhatian” tidak berhenti di meja anggaran dan papan nama baru di Gedung Kemenag.

Dari Kertas Menjadi Kiai Digital

Menag Nasaruddin melanjutkan dengan nada kenegaraan yang teduh. “Dengan Ditjen ini, kita bisa memantau seluruh pesantren dalam arti positif,” ujarnya.
Kata positif tentu penting, sebab di negeri ini, kata monitoring kerap bertransformasi jadi intervensi. Tapi, barangkali Menag ingin menegaskan bahwa mata negara bukan hendak mengintai, melainkan menuntun.

Ia berharap, semua pondok pesantren—dari yang beratap seng hingga berarsitektur Arab—dapat terdata rapi, tersertifikasi, dan terberdayakan. Santri akan hidup dalam harmoni antara kitab kuning dan sistem digital; antara doa di mushala dan laporan SPJ keuangan daring.

Sebuah ironi yang indah: pesantren, lembaga tertua yang lahir dari tanah, kini resmi memiliki rumah di menara kaca birokrasi.

Apel yang Membaca Moderasi

Apel Hari Santri tahun ini berjalan damai dan penuh simbol. Para pejabat lintas agama berdiri sejajar di bawah langit Jakarta:Dirjen Bimas Katolik memimpin barisan, Dirjen Bimas Hindu membaca Pembukaan UUD 1945, Dirjen Bimas Buddha mengalunkan naskah pembuka, dan Dirjen Kristen memandu acara.

Sebuah pemandangan yang layak diabadikan: doa santri bersahut dengan doa pendeta, mantra Hindu berdampingan dengan syair Islam. Di halaman Kemenag, toleransi tak lagi berupa seminar—melainkan formasi upacara yang tersusun rapi.

Dan di antara mereka, Menag berdiri tegak. Mungkin dalam hatinya ia berbisik,
“Beginilah wajah Indonesia yang kita idamkan: pesantren bukan menara gading, tapi mercusuar kerukunan.”

Catatan Kecil dari Redaksi

Jika restu presiden hari ini benar-benar menjadi gerak nyata, maka Ditjen Pesantren bisa menjadi tonggak sejarah baru: titik temu antara spiritualitas dan tata kelola modern.

Namun jika hanya menjadi “dokumen di rak penghargaan birokrasi,” maka ia tak ubahnya seperti doa yang hanya dibaca, tak pernah dihayati.

Santri sudah terlalu lama sabar.
Kini tinggal menunggu: apakah surat dari Istana akan menjelma berkah, atau sekadar simbol di tengah upacara tahunan? (NMC)

Leave A Reply

Your email address will not be published.