Ketika Ibadah Harus Sehat dan Berizin Lengkap
INVENTIF — Di tanah suci yang katanya rumah semua jiwa, dua menteri bertemu untuk memastikan satu hal: bahwa beribadah kini tak cukup dengan niat, tapi juga dengan tekanan darah yang stabil dan surat keterangan sehat yang sah.
Menteri Haji dan Umrah Republik Indonesia, Mochamad Irfan Yusuf, datang ke Riyadh dengan penuh semangat, membawa daftar panjang evaluasi, dan mungkin secarik doa agar jamaah Indonesia tahun depan tidak hanya mampu berhaji, tapi juga mampu bernapas tanpa bantuan oksigen portable.
Disambut hangat oleh Tawfiq F. Al-Rabiah, sang Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, keduanya sepakat bahwa haji 2026 harus “lebih aman, lebih sehat, dan lebih berstandar internasional”.
Dalam bahasa diplomatik, artinya: “Siapa yang batuk, bersin, atau tekanan darahnya naik, silakan tunggu di Tanah Air.”
Haji untuk yang Sehat, Umrah untuk yang Kuat
Arab Saudi kini menegaskan: hanya jamaah dengan istithaah kesehatan bersertifikat yang boleh menunaikan haji. Pemeriksaan acak akan dilakukan di bandara, hotel, bahkan mungkin di tenda Masyair—seolah Allah pun kini perlu dokumen pembuktian vitalitas.
“Kami berharap tidak ada jamaah yang sakit diberangkatkan. Ini bentuk pelayanan terbaik,” ujar Tawfiq Al-Rabiah, dengan nada yang terdengar seperti dokter jaga di instalasi haji darurat.
Sementara itu, pihak Indonesia berjanji akan menyesuaikan diri: menata ulang zona pemondokan, menyiapkan sistem tanazul—dan mungkin menyiapkan tim yoga bagi calon jamaah yang perlu “melatih pernapasan spiritual dan paru-paru fisik”.
Ketika Dam Jadi Urusan Administratif
Tak hanya soal kesehatan, kini dam atau hewan kurban pun tak lagi sesederhana menyembelih di tanah Mina. Arab Saudi menegaskan: semua penyembelihan hanya sah melalui lembaga resmi bernama Adahi.
Artinya, kambing pun kini tunduk pada sistem pembayaran digital dan nomor registrasi resmi.
“Setiap penyembelihan di luar mekanisme ini tidak sah,” tegas otoritas Saudi, seolah menutup celah bagi jamaah yang masih berpikir bisa “nebeng pahala” lewat teman seperjalanan.
Kerja Sama Dua Negara, Demi Ibadah yang Berstandar ISO 9001
Kedua menteri sepakat membentuk Joint Operation Group, semacam “markas besar koordinasi real time”—sebuah istilah yang terdengar canggih, tapi mungkin di lapangan tetap berhadapan dengan jamaah yang tersesat mencari maktab atau sandal.
Menteri Irfan Yusuf menyampaikan beberapa catatan, termasuk keberatan soal penempatan jamaah di zona 5 yang “terlalu jauh dari Ka’bah, tapi terlalu dekat dengan kesabaran”. Pihak Saudi menjawab diplomatis: “Itu bagian dari peningkatan layanan.”
Tentu saja, sebab dalam logika birokrasi modern, jarak adalah bagian dari pengalaman spiritual.
Niat, Paspor, dan Tekanan Darah
Dengan penuh semangat, kedua pihak menutup pertemuan dengan doa dan pernyataan bersama: “Kami berkomitmen memberikan pelayanan terbaik bagi jamaah.”
Kalimat yang indah, nyaris setara dengan doa “Labbaik Allahumma Labbaik”—hanya saja ini lebih administratif.
Di era ini, beribadah rupanya tak cukup dengan niat suci. Dibutuhkan juga sertifikat kesehatan, nomor kloter, vaksin terbaru, dan hasil tes jantung yang valid.
Tampaknya, rukun Islam kelima kini bertambah satu: “dan sehatlah kamu sebelum menunaikannya.” (NMC)