Menhaj Bicara Haji, Antara Spiritualitas dan Ekonomi 60 Triliun Rupiah
INVENTIF – Dalam forum megah bertajuk 7th International Hajj Fund Forum 2025, Menteri Haji dan Umrah RI Dr. Mochamad Irfan Yusuf tampil penuh semangat.
Temanya mulia: “Menyeimbangkan Kesejahteraan Jamaah dan Keberlanjutan Ekonomi.” Sebuah kalimat yang terdengar seperti doa, tapi juga seperti laporan keuangan.
“Haji bukan hanya ibadah, tapi juga ekosistem ekonomi,” ujarnya mantap.
Pernyataan yang membuat para ekonom tersenyum dan para jamaah mungkin sedikit bertanya-tanya: jadi ini ibadah atau investasi?
Dari Asrama ke Hotel, dari Ibadah ke Bisnis
Dalam pidatonya, Menhaj Irfan mengumumkan rencana mengubah asrama haji menjadi hotel haji. Langkah yang disebutnya “transformasi ekonomi berkelanjutan,” tapi oleh sebagian orang mungkin dianggap “rebranding spiritual.”
Katanya, ini untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan memberdayakan UMKM.
Kalimat yang terdengar seperti mantera pembangunan — diucapkan di setiap kementerian, hanya ganti nama proyeknya saja.
Hajj Village: Desa di Tanah Suci, Untung di Tanah Air
Tak berhenti di situ, Menhaj juga memperkenalkan proyek ambisius: Indonesia Hajj Village di Arab Saudi.
Konsepnya: perputaran uang jamaah Indonesia — sekitar Rp60 triliun per tahun — diharapkan “tersentralisasi” di sana.
Tersentralisasi? Di luar negeri. Ironi kecil yang terbungkus jargon globalisasi. “Perputaran uang jamaah harus memberi manfaat bagi petani dan pelaku industri dalam negeri,” katanya.
Sebuah harapan luhur, meski belum jelas bagaimana uang yang berputar di Tanah Suci akan kembali memutar perekonomian di Tanah Air tanpa ikut tersedot ongkos visa, hotel, dan katering impor.
Antara Akuntabilitas dan Akuntansi
Menhaj Irfan menekankan pentingnya transparansi dan tata kelola dana Haji.
Pesan yang bagus — dan sudah diulang setiap tahun, setiap menteri, setiap forum.
Namun, realitasnya, jamaah tetap harus menabung belasan tahun, bahkan ketika kurs dolar naik lebih cepat daripada antrian pendaftaran Haji.
Doa dan Dolar
Pidato itu ditutup dengan kalimat inspiratif:
“Haji bukan hanya perjalanan suci, tapi juga simbol tata kelola yang baik.”
Ya, semoga benar begitu. Karena kalau tidak, perjalanan suci ini bisa jadi hanya perjalanan bisnis kelas ekonomi, dengan tiket mahal dan laba spiritual yang belum tentu sampai.
Spiritualitas dan ekonomi memang bisa berdampingan, tapi jangan sampai jamaah merasa mereka sedang membeli saham surga, bukan menunaikan panggilan Tuhan. ( NMC)