PWI Jaya Segarkan Struktur, Antara Rotasi, Solidaritas, dan KTA Misterius
INVENTIF — Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya kembali berbenah. Dalam bahasa organisasi, ini disebut penyesuaian struktur.
Sebut saja ini semacam “pergantian pemain” di babak baru — beberapa naik kasta ke PWI Pusat, satu berpulang selamanya, dan sisanya tetap menjaga gawang Jakarta agar tak kebobolan isu.
Ketua PWI Jaya, Kesit B. Handoyo, menegaskan perubahan ini adalah bagian dari dinamika yang sehat. “Organisasi yang hidup pasti bergerak. Kalau diam saja, nanti dikira mati,” ujarnya dalam rapat pleno yang berlangsung luring dan daring, Selasa (14/10/2025).
Beberapa nama kini pindah gelanggang. Ada yang dipercaya mengemban amanah di PWI Pusat, ada pula yang mendapat amanah dari Yang Maha Kuasa — jabatan yang tentu tak bisa digugat dalam musyawarah manapun. Salah satunya, Fathan Rangkuti, SH, Ketua Seksi Wartawan Multimedia, yang berpulang pekan lalu.
“Beliau sudah bekerja dengan dedikasi tinggi. Semoga kebaikannya menjadi jalan kemudahan ke surga,” kata Kesit, mengirim duka cita dengan nada penuh hormat.
Dalam pleno, disepakati pula pergeseran jabatan: Benny Joewono kini menjadi Ketua Dewan Penasihat, menggantikan Drs. Johny Hardjojo, M.Si., yang naik ke level pusat sebagai ketua departemen Hankam, TNI dan Polri.
Dewan penasihat kini juga diperkuat Dr. M. Nasir, SH, MH dan M. Kusnaeni alias Bung Kus, komentator sepak bola yang kini juga berperan menata strategi organisasi pers. Mungkin agar rapat tak kehilangan narasi dan ritme permainan.
Sementara itu, lima pengurus PWI Jaya kini resmi tercatat di jajaran pusat: Johny Hardjojo, Kadirah, Anrico Pasaribu, Hengky Lumban Toruan, dan Sumber Rajasa Ginting.
Kursi mereka digantikan oleh wajah-wajah baru: Stanislaus Jumar Sudiyana (Radio Sonora), Rinto, SH, dan Raden Wuryanto. Rotasi yang disebut Kesit sebagai bukti soliditas yang berkelanjutan. Di luar itu, beberapa anggota hanya berharap rotasi ini tak berujung pada “mutasi opini”.
Kesit menegaskan bahwa PWI Jaya adalah rumah bersama. “Pandangan boleh berbeda, tapi pintu dialog tetap terbuka. Selama tidak bawa bensin ke dalam rumah,” ujarnya tenang, sambil menegaskan komitmen pada semangat kebersamaan.
Penyesuaian struktur, menurutnya, bukan sekadar mengganti nama di papan kepengurusan. Tapi juga upaya menjaga organisasi dari penyakit lama: ego, gengsi, dan grup WhatsApp yang terlalu ramai namun miskin substansi.
“Kepengurusan boleh berubah, tapi solidaritas tak boleh redup,” kata Kesit. Kalau redup, berarti perlu ganti baterai semangat.
Selain penyegaran internal, rapat juga menyinggung fenomena Kartu Tanda Anggota (KTA) misterius hasil Orientasi Keanggotaan (OKK) yang tak pernah dilakukan oleh PWI Jaya.
Dengan nada diplomatis tapi tegas, Kesit menyebut, “PWI Jaya tidak mengakui produk di luar mekanisme resmi. Kalau ada yang merasa dirugikan, silakan lapor ke pihak berwenang. Tapi jangan di medsos, nanti jadi trending tapi tak ada solusi.”
Untuk memastikan keteraturan, PWI Jaya akan menggelar OKK inhouse di RRI Jakarta pada akhir Oktober, diikuti lebih dari 20 peserta. Setelah itu, Uji Kompetensi Wartawan (UKW) akan digelar November mendatang. Dua agenda itu, kata Kesit, bukan sekadar formalitas. “Ini bagian dari tanggung jawab menjaga marwah profesi, agar wartawan tak hanya pandai menulis, tapi juga paham etika dan ejaan.”
Dalam suasana organisasi yang terus menyesuaikan diri, satu hal tetap abadi: semangat menjadi penjaga kebenaran. ( NMC)