STQH Nasional XXVIII, Tilawah, Tata Cahaya, dan Tafsir Kekuasaan

0

INVENTIF — Di bawah langit Sulawesi Tenggara yang diterangi lampu sorot berdaya tinggi, Tugu Persatuan malam itu menjelma menjadi mihrab raksasa bagi seremoni yang suci dan strategis: pembukaan Seleksi Tilawatil Qur’an dan Musabaqah Al-Hadits (STQH) Nasional XXVIII Tahun 2025.

Yang membuka bukan Presiden, tentu saja. Sebab di republik ini, sang kepala negara seringkali hadir lewat “wakil resmi”—sebuah tradisi kenegaraan yang kian mirip sistem “proxy worship”: seseorang berdoa, yang lain menerima pahala politiknya. Maka hadirlah Menko PMK Pratikno, memukul dimba—alat musik tradisional yang mendadak naik kasta jadi simbol kebangsaan.

Dentumannya menggema, disambut tepuk tangan ribuan warga yang mungkin bertanya dalam hati: apakah suara itu pertanda dimulainya lomba tilawah, atau sekadar sinyal bahwa pesta anggaran telah resmi dimulai?

Pratikno dalam sambutannya mengutip sejarah Islam sebagai mercusuar ilmu pengetahuan dunia. Kalimat yang indah, meski ironinya terasa getir di tengah negeri yang masih berdebat tentang kurikulum, logika, dan literasi digital. Ia bicara tentang ilmuwan Muslim masa lalu yang hafal Al-Qur’an dan ahli sains. Hari ini, sebagian mahasiswa bahkan belum hafal harga beras di warung sebelah.

“Kemajuan tanpa akhlak ibarat pedang tajam di tangan orang yang matanya tertutup,” ujar Pratikno penuh semangat. Pernyataan yang, jika diterapkan secara jujur, mungkin harusnya membuat banyak elite politik meletakkan pedangnya, atau minimal membuka matanya.

Di sisi lain, Menteri Agama Nasaruddin Umar tampil lembut namun tajam. Ia menyebut STQH sebagai wasilah spiritual untuk membangun generasi Qurani yang peduli lingkungan. Tema besarnya — “Syiar Al-Qur’an dan Hadis: Merawat Kerukunan, Melestarikan Lingkungan” — terdengar puitis, walau di luar arena, udara masih diselimuti kabut dari lahan terbakar dan politik identitas tetap hangat seperti bara.

“Merawat lingkungan adalah bentuk zikir sosial,” ujar Menag. Sebuah kalimat yang terdengar religius, tapi nyaris utopis jika diingat bahwa banyak proyek besar yang merusak hutan justru lahir dari tangan-tangan yang juga menandatangani nota kesepahaman “pembangunan berkelanjutan.”

STQH, sebagaimana biasanya, menjadi panggung ganda: arena tilawah di satu sisi, dan etalase politik kesalehan di sisi lain. Di depan kamera, ayat-ayat dilantunkan dengan tartil, sementara di belakang panggung, para pejabat sibuk memastikan posisi kursi, angle foto, dan urutan sambutan. Di negeri ini, iman memang selalu lebih indah bila punya backdrop bertuliskan “Disiarkan Langsung oleh TV Nasional.”

Kegiatan ini melibatkan lebih dari seribu peserta dari 35 provinsi, dengan total partisipan hampir empat ribu orang. Jumlah yang cukup besar untuk memutar ekonomi lokal—dan tentu juga cukup untuk memutar narasi bahwa “negara hadir dalam urusan spiritual.”

Ada expo UMKM, bazar, dan pasar rakyat, karena bahkan kesalehan pun kini bertransformasi jadi ekosistem ekonomi. “Syiar dan sejahtera” adalah paket lengkap: baca ayat dapat pahala, beli suvenir dapat cashback.

Namun di balik gemerlapnya, pertanyaan paling sunyi tetap menggema: setelah ayat-ayat dilantunkan, hadis-hadis dikaji, dan pejabat pulang naik mobil dinas, apakah pesan moralnya benar-benar tersisa di hati publik — atau hanya menguap bersama bunyi dimba di udara malam Kendari?

STQH Nasional XXVIII menjadi cermin betapa negeri ini mahir mengemas spiritualitas menjadi tontonan: sakral di atas panggung, seremonial di dalam berita, dan politis dalam hasil dokumentasi.

Di Indonesia, bahkan iman pun membutuhkan tata cahaya dan mikrofon. Sebab yang paling penting bukan hanya membaca Al-Qur’an dengan tartil, tetapi memastikan bahwa pembacanya terekam dengan pencahayaan yang sempurna. (NMC)

Leave A Reply

Your email address will not be published.