INVENTIF: Kementerian Keuangan melaporkan, posisi utang pemerintah hingga 31 Januari 2023 mencapai Rp7.754,98 triliun atau setara 38,56 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Rasio utang terhadap PDB tersebut diketahui turun dari persentase pada akhir 2022 yang mencapai 39,57 persen.
“Rasio ini menurun jika dibandingkan dengan akhir tahun 2022 yang mencapai 39,57 persen dan masih jauh di bawah batas undang-undang sebesar 60% dari PDB,” tulis Kementerian Keuangan dalam Buku APBN Kita edisi Februari 2023.
Kendati demikian, posisi utang pemerintah pada Januari 2023 bertambah Rp 20,99 triliun dari posisi utang pada akhir 2022 yang mencapai Rp7.733,99 triliun.
Dalam buku APBN Kita edisi Februari 2023, dijelaskan, posisi utang yang sebesar Rp7.754,98 triliun, terdiri dari 88,9 persen dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan 11,1 persen dalam bentuk pinjaman.
Berdasarkan mata uang, utang pemerintah berdenominasi rupiah mendominasi dengan proporsi 71,45 persen. Hal diklaim karena sejalan dengan kebijakan umum pembiayaan utang yaitu mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap.
“Kebijakan ini dilakukan dengan koordinasi dan kerja sama yang erat bersama Bank Indonesia dalam rangka menghadapi volatilitas nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri, sehingga risiko nilai tukar lebih terjaga,” jelas Kemenkeu.
Secara rinci, jumlah utang pemerintah dalam bentuk SBN sebesar Rp6.894,36 triliun. Terdiri dari SBN dalam bentuk domestik sebesar Rp5.519,27 triliun, yang berasal dari Surat Utang Negara sebesar Rp 4.480,31 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp1.038,96 triliun.
Kepemilikan SBN domestik tradable didominasi oleh perbankan, diikuti oleh Bank Indonesia, lembaga asuransi dan dana pensiun, serta investor asing (dalam porsi yang kecil).
Kementerian menjelaskan, pada Januari 2023 dibandingkan dengan Desember 2022 (month to month/mtm) terjadi penurunan posisi utang pemerintah dalam valuta asing.
Penurunan utang dalam bentuk valuta asing tersebut dipengaruhi adanya penguatan atau apresiasi nilai tukar rupiah terhadap berbagai mata uang asing, seperti dolar Amerika Serikat (AS), Euro, dan Japanese Yen. “Pemerintah melakukan pengelolaan utang dengan risiko yang terkendali, antara lain melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo,” jelas Kementerian Keuangan.